Secara redaksional,
dalam ayat tersebut disebutkan bahwa untuk orang-orang Yahudi ditunjuk dengan
redaksi lan, sedangkan untuk orang
Nasrani dengan kata lâ. Menurut para pakar bahasa Al-Qur’an, kata lan digunakan untuk menafikan sesuatu di
masa datang, dan penafian tersebut lebih kuat daripada lâ yang digunakan untuk menafikan sesuatu tanpa mengisyaratkan masa
penafian tersebut, sehingga boleh saja ia terbatas untuk masa lampau, kini,
atau masa datang.3[1]
Di sisi lain, ayat tersebut
secara tegas menyatakan bahwa selama seseorang itu al-Yahûdi (Yahudi) bukan alladzîna hâdû atau ahl
al-Kitâb, maka pasti tidak akan rela terhadap umat Islam hingga umat Islam
mengikuti agama/ tata cara mereka, dalam arti menyetujui sikap dan tindakan
serta arah yang mereka tuju. Mengapa
perlu penjelasan kalimat terakhir ini? Karena ada sementara orang yang
berpendapat bahwa orang-orang Yahudi tidak akan pernah rela sampai umat Islam
memeluk atau masuk ke dalam agama Yahudi.
Pandangan seperti ini jelas keliru karena bertolak belakang dengan
doktrin dan realitas orang-orang Yahudi yang bersikap eksklusif dalam arti
tidak mau ada orang lain yang masuk agama Yahudi. Maka dapat juga disimpulkan bahwa agama
Yahudi bukanlah agama misi dalam arti pemeluknya harus mendakwahkan kepada oran
lain agar memeluk agama Yahudi. Mengapa
mereka bersikap demikian?
Menurut para ahli perbandingan
agama, dalam kacamata Yahudi manusia
dibagi menjadi dua:
1. Yahudi
2. Joyeem atau Ummiyin,
yaitu orang-orang non-Yahudi (kafir menurut mereka)
Orang Yahudi adalah umat Tuhan yang
terpilih. Mereka itu adalah anak-anak
Tuhan yang sangar dicintai-Nya.
Jiwa-jiwa mereka dicipta dari jiwa Tuhan, dan asal-usul mereka sama
dengan asal-usul Tuhan, hanya mereka saja anak-anak Tuhan yang suci murni dan
Tuhan telah mengaruniakan mereka dalam perspektif kemanusiaan sebagai
penghormatan terhadap mereka.4[2]
Adapun kelompok Joyeem atau non-Yahudi diciptakan dari
asal-usul setan dan tujuan penciptaan ini adalah agar mereka berkhidmat kepada
kaum Yahudi, mereka tidak dikaruniakan bentuk dan rupa kemanusiaan agar mereka
menjadi pengikut bangsa Yahudi sebagai bentuk penghormatan Tuhan kepada
mereka. Oleh karena itu, sudah menjadi
hak bagi kaum Yahudi untuk memperlakukan terhadap mereka sebagai binatang atau
bahkan lebih. Maka, atas kelompok
non-Yahudi, orang Yahudi boleh melakukan apa saja termasuk menipu, memperkosa
perempuannya, merampas harta mereka, dan lain-lain. Inilah yang diisyaratkan dalam QS. Ali ‘Imrân
[3]: 75.
Berdasar
pada penjelasan di atas, mustahil kalau oirang-orang Yahudi membiarkan orang lain
masuk ke dalam agama mereka apaalagi mengajaknya dengan misi Yahudinisasi. Yang paling mungkin adalah orang non-Yahudi
harus tunduk mengikuti aturan mereka.
Itu pun seperti yang tesirat dalam penggunaanredaksi dalam ayat di atas
tidak semua Yahudi.
Ini
berbeda dengan orang-orang Nasrani, penafian Al-Qur’an terhadap an-Nashârâ yang dalam ayat di atas
menggunakan kata lâ tidak setegas
penafiannya terhadap al-Yahûd, boleh jadi tidak
semua bersikap demikian. Atau boleh jadi
juga sekarang dan masa lalu, teteapi masa datang tidak lagi. Dan yang jelas secara doktrin dan realitas
agama Nasrani termasuk agama misi dalam arti menyuruh kepada pemeluknya agar
menyampaikan, mengajak, dan kalau perlu dengan segala cara agar seluruh manusia
masuk ke dalam agama Nasrani.
Dari
penjelasan di atas tampak jelas secara redaksional menyamakan mereka sungguh
tidak tepat , yang terjadi justru sebaiknya bahwa kedua komunitas tersebut adalah
sangat berbeda termasuk sikap mereka terhadap umat Islam. Bagaimana dengan konteks ayat atau munâsabah ayat di atas?
Ayat
tersebut terletak di antara ayat-ayat yang berbicara tentang Bani Israil, yaitu
seperti yang juga telah di singgung di atas, mulai dari ayat 40 sampai
kira-kira ayat 146. Ayat sebelumnya,
khusunya ayat 116 dan 118, berisi penjelasan tentang kesesatan kaum Bani
Israil. Maka, sungguh sangat wajar
jikalau dalam ayat 120 ini memberi informasi penegasan bahwa perilaku buruk
mereka yang lain di antaranya adalah tidak rela sebelum Nabi Muhammad saw.
beserta umat Islam tunduk kepada aturan hidup mereka. Dan, yang juga harus diberi catatan adalah
khususnya untuk golongan an-Nashârâ
yang penafiannya tidak merujuk waktu tertentu (lâ), maka yang bersikap demikian adalah boleh jadi golongan Nasrani
yang hidup pada masa RAsulullah saw.
Pemahaman
tersebut akan menjadi lebih jelas apabila dikaitkan dengan ayat sesudahnya, 121
yang dalam ayat tersebut berisi penjelasan tentang sikap sementara kelompok
Bani Israil yang dalam redaksi ayat tersebut diungkap dengan “orang-orang yang
telah Kami beri al-Kitab” yang dipuji oleh Al-Qur’an dengan pernyataannya
“mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman
kepadanya”. yang berarti ada di antara
kelompok tersebut yaitu diberikan oleh Allah swt. Al- Kitab, yaitu Taurat dan
Injil yang baik, dalam arti mereka mengikuti tuntunan yang terdapat dalam
Kitab-Kitab tersebut secara baik dan sempurna serta sesuai dengan apa yang
diturunkan Allah swt.
Memahami
kedua kelompok tersebut secara sama dengan sikap menggeneralisir khususnya
dalam hal hubungannya dengan umat Islam sekali lagi sungguh kurang tepat. Bagaimana dengan pendapat para mufasir
tentang ayat tersebut?
No comments:
Post a Comment