Wednesday, April 3, 2013

Bohong yang Dibolehkan


Sebuah penggalan sastra menggambarkan kebolehan berbohong dalam hal-hal tertentu, yang sesungguhnya merupakan kiat atau strategi mencapai suatu hasil, tentu dengan syarat atau kriteria tertentu.
“Boleh berdusta (melakukan strategi) pada upaya perdamaian atau menghindari kezaliman, kepada keluarga (pasangan suami atau istri) untuk sanjungan membahagiakan dan pada situasi perang untuk menang.”[1]
            Cakupan dari penggalan sastra tersebut sejatinya merupakan turunan dari beberapa hadis yang berbicara tentang pengecualian atau kebolehan berbohong karena ada sebab yang sangat mendesak dan dibolehkan. Salah satu Hadis Rasulullah saw yang berkaitan dengan hal ini adalah:
“Ummu Kultsum berkata bahwa aku tidak pernah mendengar keringanan (rukhshah) kebohongan kecuali dalam tiga hal. Rasulullah saw mengatakan bahwa aku tak menganggap pendusta orang yang mengarang suatu ucapan tak lain hany aupaya untuk mendamaikan dua orang yang berseteru, orang berucap sesuatu sebagai strategi dalam peperangan dan sanjungan suami kepada istrinya dan istri kepada suaminya.”[2]
Dari hadis ini dapat dipahami ada tiga hal yang diperbolehkan berdusta dan orangnya tidak dianggap sebagai pendusta. Pertama, berdusta untuk mendamaikan dua orang pihak yang berseteru, misalnya menyatakan keinginan salah satu pihak ingin sekali berdamai, dan itu dilakukan secara silang, meskipun sesungguhnya belum secara jelas diungkapkan oleh yang bersangkutan, semata-mata  sebuah upaya perdamaian (islah). Perdamaian adalah sesuatu yang sangat mulia dan senantiasa diinginkan oleh al-Quran, sebagaimana dipahami dari QS.al-Baqoroh [2]:228;an-Nisa [4]:35,114,128;al-Hujurat[49]:9-10. Manusia harus selalu berupaya untuk mendamaikan orang-orang yang berseteru dengan berbagai cara yang bisa dilakukan, bahkan kalu terpaksa dengan sedikit bumbu-bumbu yang dapat meluluhkan hati orang berseteru. Bukan maksudnya untuk berbohong atau membohongi orang, tetapi sekedar ucapan-ucapan bersayap yang kadang-kadang dilebihkan dalam rangka menarik simp[ati untuk berdamai. Perilaku orang beriman itu adalah memelihara perdamaian, apabila ia menjumpai ada dua orang atau lebih berselisih dan berpotensi memunculkan pertengkaran atau permusuhan, apalagi jika permusuhan itu telah terjadi, maka ia harus berupaya mendamaikannya. Ayat ke-10 dari QS.al-Hujurat dengan jelas memerintahkan hal tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
            Kedua berdusta untuk memberikan sanjungan pasangan (suami atau istri),misalnya memuji busana yang dikenakan, ide-ide yang dilontarkan hasil maskannya, dan selainnya. Tidak ada maksud untuk berbohong, tetapi sekedar menyenangkan hati dengan sanjungan yang berbunga-bunga. Ketiga, berdusta dalam situasi perang. Peperangan  yang dibenarkan dalam ajaran agama mengharuskan strategi untuk menang. Strategi itu bersifat sangat rahasia bagi lawan sehingga harus dikemas sedemikian rupa agar tidak bocor kepada pihak musuh. Dalam kemasan kerahasiaan inilah kadangkala seseorang diharuskan bersikap, berbicara atau bertingkah laku tidak sebagaimana adanya karena menjaga sifat kerahasiaan tadi.


[1] Lihat Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri,al-‘Arf Asy-Syadziy,Syarh Sunan at-Turmudzi,Juz III, h.234.
[2] Risayat Turmudzi dan selainnya. Lihat Sunan at-Turmudzi, juz VII, h.186.

No comments:

Post a Comment