Kedamaian dan
rasa aman adaiah syarat mutlak bagi tegak dan sejahteranya satu masyarakat.
Keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang kait-berkait. Jika tak ada
rasa aman, maka kesejahteraan tidak dapat diraih dan dirasakan dan bila
kesejahteraan tidak wujud, maka keamanan tidak dapat terasa, bahkan kekacauan
dan kegelisahan tumbuh subur. Itu sebabnya ditemukan al-Qur'an menggarisbawahi
keduanya bahkan menyandingkannya antara lain dengan merekam permohonan Nabi
Ibrahim as. yang yang menyatakan:
"Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Tuhanku, jadikanlali negeri ini negeri yang
aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang
beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:
"Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian
Aku paksa ia menjalani siksa neraka_dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
" (QS. al-Baqarah [2]: 126)
Nabi agung itu dalam permohononannya membatasi permintaannya
menyangkut keamananan dan kesejahteraan hanya khusus untuk orang-orang beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian, tetapi oleh Allah pembatasan tersebut
ditampik-Nya sambil menegaskan-sebagaimana terbaca di atas—bahwa yang kafir pun
akan dianugerahi-Nya kesenangan di dunia—walaupun di akhirat nanti Allah akan
memaksanya merasakan pedihnya neraka. Ini berarti bahwa Allah menghendaki dan
memerintahkan agar keamanan dan kesejahteraan harus dapat menyentuh semua
anggota masyarakat yang beriman maupun yang kafir.
Hal ini dipertegas oleh QS. at-Taubah [9]: 6, di mana Allah
memerintahkan Nabi Muhammad" saw. (dari umat Islam) dengan firman-Nya:
"Dan
jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia aapat mendengar firman Allah, kemudian antarlah ia ke
tempat yang c man baginya". (QS. al-Taubah [9]: 6)
Maksudnya, jangan paksa ia beriman, jangan juga menahannya di
tempat kamu bila ia ingin meninggalkan kamu, tetapi biarkan dia pergi bahkan
antar dia ke tempat yang aman.
Mufti Mesir
dan Syekh al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, menulis dalam tafsirnya bahwa
pemberitaan rasa aman dan perlindungan itu merupakan puncak dari perlakuan yang
diajarkan Islam terhadap kaum musyrik, dan puncak dari segala puncak adalah
pengawalan dan penjagaan yang diberikan kepada sang musyrik—yang secara
teoretis berpotensi menjadi musuh Islam dan kaum Muslim—hingga ia keluar
perbatasan wilayah Islam.
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa kendati seseorang itu
musyrik-selama tidak bermaksud jahat kepada kaum Muslim-mereka pun adalah
manusia yang berhak memperoleh perlindungan, bukan saja menyangkut nyawa dan
harta benda mereka, tetapi juga menyangkut kepercayaan dan keyakinan mereka.
Ayat ini menunjukkan betapa Islam memberi kebebasan berpikir serta membuka
peluang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk menemukan kebenaran dan dalam
saat yang sama memberi perlindungan kepada mereka yang berbeda keyakinan,
selama mereka tidak mengganggu kebebasan berpikir dan beragama pihak lain.
Sekali lagi, al-Qur'an sangat mendambakan terciptanya kedamaian
dan kesejahteraan. Hakikat ini terbaca juga dalam QS. Quraisy [106]: 3-4. Di
sana Allah menyebut dua anugerah besar yang dinikmati oleh masyarakat Mekkah
pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu nikmat keamanan dan nikmat kecukupan
pangan/kesejahteraan. Allah berfirman:
"Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan
Pemilik rumah ini (Ka'hah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan."
Anda baca
bahwa dengan terwujudnya rasa aman dari gangguan dan dengan terpenuhinya
kebutuhan pangan maka menjadi sangat wajar bagi siapa pun yang menikmati kedua
hal tersebut untuk beribadah/mengabdi kepada Allah. Nah, jika Allah
memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai salah satu tujuan
penciptaan manusia dan jin (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56)", maka itu berarti
menjadi kewajiban semua manusia untuk berpartisipasi dalam terwujudnya rasa
aman itu.
Ayat di atas ini juga mengisyaratkan bahwa rasa aman mendahului
kewajiban beribadah. Hal tersebut wajar bukan saja karena sekian banyak ibadah
yang diwajibkan Allah yang gugur akibat tidak terpenuhinya rasa aman. Ambillah
sebagai contoh, ibadah haji yang salah satu syaratnya adalah keamanan dalam
perjalanan. Demikian juga shalat-walau tidak gugur—tetapi bila rasa aman tidak
terpenuhi maka bentuknya pelaksanaannya berubah atau apa yang dikenal dalam
bahasan hukum dengan shalat al-khauf (shalat pada waktu takut).
No comments:
Post a Comment