Sudah menjadi
kesepakatan umum bahwa perang,apapun bentuknya, memerlukan suatu strategi untuk
memenangkannya. Namun,perang yang dimaksud di sini adalah perang di jalan
Allah, bukan perang para preman yang mempertahankan wilayah kekuasaan, atau
perang yang lain semisal perang harga para produsen untuk saling menjatuhkan,
dan sebagainya. Karena, perang model itu terlarang dalam agama, apalagi
berbohong dalam hal yang memang sudah terlarang. Oleh karena itu kebohongan
yang di bolehkan adalah strategi dalam rangka memenagkan perang di jalan Allah
melawan orang kafir yang memusuhi Islam.
Melakukan strategi, berbohong, atau
tipu daya, dalam suasana perang dalam rangka memenangkan peperangan tampaknya
memang diperlukan. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari menjelaskan
tentang peperangan itu sebagai tipu daya.
“Dinukil
dari Amr,ia mendengar Jabir ibn Abdillah ra berkata bahwa Nabi saw pernah
bersabda : ‘perang itu adalah tipu daya’.”[1]
Sebuah peperangan tanpa strategi
tentu dengan mudah digunakan oleh lawan untuk menghancurkan, namun tidak
serta-merta berarti harus dilakukan dengan segala cara yang tak beretika. Etika
perang sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan umum atau konvensi-konvensi
tentang hal itu tetap harus dikedepankan. Sebagian besar ulama sepakat atas
tipu daya terhadap orang kafir yang menjadi musuh dalam peperangan. Meskipun
ada sebagian lain, seperti ath-Thabari, tetap tidak membolehkan tipu daya atau
kebohongan dalam situasi apapun, kecuali yang sifatnya kiasan atau sindiran
halus atau bahasa-bahasa yang mengambang untuk tidak mengatakan sesuatu perihal
perang secara jelas (vulgar,eksplisit). Lebih jelasnya, Abu al-‘Ala mengutip
perkataan ath-Thabari sebagai berikut:
“Kebohongan
yang dibolehkan dalam perang hanyalah yang bersifat kiasan(bahasa ambang).
Bukan kebohongan dalam arti sebenarnya,karena hal itu selamanya tidak
dibolehkan.”[2]
Perlu ditegaskan bahwa kebolehan
untuk berdusta (baca:mengembangkan strategi yang dirahasiakan ) ataupun
mengungkapkan dengan bahasa-bahsa yang mengambang hanya berlaku pada saat
perang,upaya islah, dan sanjungan kepada pasangan suami istri sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Artinya, di luar suasana itu kebohongan merupakan suatu
perbuatan dosa. Hal ini penting untuk dikemukakan, karena ada sebagian
masyarakat kita yang membolehkan untuk menipu, membohongi, atau mencurangi
orang lain yang tidak seiman dengannya dengan menyandarkan pada hadits yang
disebutkan di atas. Padahal, dalam hadis tersebut sangat jelas disebut kata
al-harb (dalam situasi perang). Di luar itu, Kebohongan, tipu daya dan
sejenisnya tidak layak dilakukan sebagai
penganut agama yang senantiasa mempresentasikan kedamaian. Orang Muslim adalah
orang yang senantiasa lingkungannya merasa damai atas kehadirannya karena
ucapan ataupun perbuatannya.
No comments:
Post a Comment