Wednesday, April 3, 2013

RELASI MUSLIM DAN NON-MUSLIM DALAM KONTEKS SOSIOLOGIS



Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka.  Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)”. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 120)
                                           
                Para mufasir sepakat bahwa keseluruhan ayat dalam surah al-Baqarah turun ketika Nabi Muhammad saw. telah berhijrah ke Madinah (madaniyyah).  Ayat di atas terletak di dalam kelompok ayat yang berbicara tentang komunitas Bani Israil, yang di dalam QS. al-Baqarah dimulai dari ayat 40-146.  Sementara mufasir, di antaranya Imam As-Suyuthi, mengutip dari sahabat Ibn ‘Abbas, menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan masalah pemindahan arah kibalat dalam shalat yang mengarah ke Ka’bah.  Kaum Yahudi di Madinah dan Nasrani di Najran menanggapi dengan sinis, karena mereka sangat mengharap agar kaum Muslim mengarahkan shalat kea rah kiblat mereka.1[1]

                Ayat tersebut seakan ingin menguatkan Rasulullah saw. Dalam menghadapi sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani.  Hal ini menjadi lebih jelas apabila diperhatikan ayat sebelumnya khususnya ayat 118 dan 119.  Dalam ayat 118 dijelaskan tentang keengganan Bani Israil khususnya dan orang kafir Mekkah umumnya (karena memang mereka sering bersikap setali tiga uang dalam menghadapi dakwah Nabi saw), untuk menerima dakwah Nabi saw. Dengan dalih yang bernada protes “mengapa Allah tidak berbicara kepada kami atau mendatangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami”.

                Sedangkan dalam ayat 119 Allah menegaskan bahwa salah satu tugas utama Nabi Muhammad saw. adalah untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan serta tidak eksklusif hanya untuk kelompok tertentu tapi kepada semua manusia.  Ternyata tidak setiap orang yang menerima kabar gembira atau peringatan tersebut menyambut dengan baik, namun ada juga yang menolak.  Ayat 120 inilah yang menggambarkan kelompok mana saja yang menolak sekaligus alasan penolakannya.

                Orang-orang Yahudi dan Nasrani baru akan rela menerima seruan Nabi Muhammad saw. apabila yang disampaikan adalah ajaran atau tata cara hidup mereka atau Rasulullah saw. terlebih dahulu masuk dan mengikuti ajaran atau millah mereka.  Susunan ayat tersebut tampaknya memberi kesan Nabi saw bersedih, karena keengganan mereka untuk meninggalkan agama sebelumnya untuk masuk Islam.2[2]  Sementara di sisi lain, Nabi Muhammad saw. tidak mungkin akan mengikuti keinginan mereka.  Kemudian, ayat tersebut memberi tuntunan bagaimana menyikapi hal tersebut dengan menyatakan “Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya.”
               
                Beberapa ayat lain menginformasikan tentang kesediaan Nabi saw. atas respons sementara orang yang tidak mau beriman, di antaranya QS. Al-Kahfi [18]: 6:


Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).”

                Juga dalam QS. Fâthir [35]: 8:

“…Maka, janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka…”.

                Dalam beberapa ayat lainnya Nabi saw diingatkan oleh Allah swt. bahwa:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]: 272)

                Ada sementara kelompok yang memahami ayat di atas secara literal dengan berkesimpulan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya tidak akan pernah rela terhadap kaum Muslim sampai kaum Muslim tunduk kepada mereka.  Bahkan, lebih jauh lagi ada yang berkeyakinan berdasarkan ayat tersebut dengan berpendapat bahwa dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim khususnya Yahudi dan Nasrani adalah jihad/perang bukan perdamaian, sehingga dengan pandangan seperti ini dikembangkanlah teori konspirasi; bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selalu melakukan konspirasi untuk memusuhi umat Islam.

                Pendapat tersebut jelas kurang tepat, berdasarkan paling tidak tiga alasan.  Pertama, ditinjau dari redaksi dan hubungan ayat; Kedua, para mufasir baik klasik maupun kontemporer tidak ada yang berkesimpulan demikian; Ketiga, karena tidak sejalan dengan pandangan al-Qur’an secara umum menyangkut sifat dan sikap orang Yahudi dan Nasrani.


1 As-Suyuti, Lubâb an-Nuzûl, dalam Hamisyah Tafsir Jalâlain, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 22.
2 Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, Mesir: Mushtafa al-Bab al-Halabi, 1974, jilid I, h. 273; juga dalam M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh, Jakarta: Lentera Hati, 2000, vol. I, h. 294

No comments:

Post a Comment