Sunday, August 5, 2012

Pemahaman al-Quran dan al-Hadis: Dulu dan Sekarang

            Ulama besar, asy-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat mencatat empat aliran dalam pemahaman al-Qur’an dan Hadits, yaitu Zhahiriyyah (literal), bathiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas (rasionalis dan cenderung liberal), dan al-Rasikhun fi al-‘Ilm (mendalam ilmunya dan moderat).[1]

1.      Zhaririyyah
Sebuah mazhab fiqih yang berlandaskan pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, tetapi menolak intervensi akal dalam bentu qiyas, ta’lil, istihsan, dan lain sebagainya. Zhahiriyah, sebutan bagu para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya, Daud bin Ali azh-Zhahiri. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga Hijriah.
            Dalam memahami teks keagamaan Zhahiriyah berpegang kepada tiga prinsip dasar:
a.        Keharusan berperang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan teks yang zhahir lainnya atau dengan konsessus (ijmak) yang pasti. Penggunaan akal tidak diperkenankan.
b.        Maksud teks yang sebenarnya terletak pada zhahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki syara’.
c.         Mencari sebab di balik penetapan syariah adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah seorang tokohnya berkata,  “Seseorang tidak boleh mencari sebab dalam agama dan tidak diperkenankan mengatakan ‘ini’ adalah sebab ditetapkannya ‘itu’, kecuali ada nash tentang itu.” (La yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun).
Banyak hasil ijtihad kelompok Zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain karena:
a.        Tidak mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir, sehinggal al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang timbul kemudian.
b.        Jumud dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks al-Qur’an terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu berkembang.
c.         Tidak sejalan dengan rasionalitas al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada logika bahasa.

2.        Bathiniyyah
Sebuah nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam. Muncul pertama kali pada masa al-Ma’mun (w.218), salah seorang penguasa Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu’tashim (w. 227). Sebagian ulama mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan bersumber dari kalangan Majusi. Dinamakan Bathiniyyah karena mereka meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariah; zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedangkan yang batin hanya diketahui oleh Iman.[2]
            Pola yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan:
a.        Tujuan dan maksud dari sebuah teks (al-Qir’an dan Hadits) bukan pada makna zhahir yang diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi terletak pada makna di balik symbol zhahirnya.
b.        Mereka mengultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga banyak hokum-hukum syar’I yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Karena itu, Imam al-Ghazali, seperti dikutip asy-Syathibi, mendudukkan mereka pada
tingkatan yang paling rendah dan hina disbanding kelompok sesat lainnya.[3] Kerusakan yang mereka lakukan, kata ar-razi, jauh lebih parah dari tindakan orang kafir, sebeba mereka menggerus syariah Islam dengan sebutan Islam itu sendiri.[4]
Mengapa mereka dinilai keliru dan sesat?
a.      Tidak memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai sandaran dalam memehami al-Qur’an, padahal al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan baru dapat dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip kebahasaan Arab.
b.      Mengira ada yang kurang dalam syariah, dan baru sempurna jika dipahami secara batin yang hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma’shum.
c.       Mengedepankan akal daripada syariah yang dianggapnya kurang memadai dan melepaskannya tanpa kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut disadari, keragaman pandangan yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan menimbulkan kekacauan.

3.      Rasionalis (al-Aqlaniyyun), atau al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian ulama menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w. 716 H) yang dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan syariah Allah dalam ibadah (al-ibadat) dan muamalah (al-mu’amalat).”
            Pendapatnya yang sangat berbeda dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: “Jika ada maslahat yang bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu’amalat (adat), maka maslahat harus dikedepankan daripada nash.”
            Menurut ath-Thufi, hubungan antara maslahat dan nash (dalil syar’i) berkisar pada tiga hal:
-       Dalil syar’I sejalan dengan maslahat, seperti dalam penetapan hudud terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, qadzaf, dan selainnya.
-       Jika tidak sejalan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan melalui takhshish atau taqyid, maka keduanya dapat digunakan dalam batas-batas tertentu.
-       Jika terjadi benturan antara maslahat dan nash dan tidak bisa dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash ditinggalkan.[5]
Maslahat harus dikedepankan, karena akal dapat menalar dan membedakan maslahat manusia tanpa perlu bantuan syara’. Maslahat daoat diketahui secara pasti melalui kebiasaan sedangkan nash-nash syar’i tidak dapat menjelaskannya karena mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan. Ukurannya adalah hukum muamalat sejalan dengan akal dan kebiasaan serta mewujudkan manfaat, baik ketika sejalan dengan nash maupun bertentangan.
Mengapa mereka keliru?
a.        Akal memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia secara sempurna. Apa yang diduga akan mendatangkan maslahat boleh justru sebaliknya. Pengetahuannya sangat terbatas (QS. al-Isra [17]: 85; QS. an-Nahl [16]: 8 dan lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya dengan mengekang akal untuk tidak berfikir.
b.        Akal mengikuti syara’ bukan sebaliknya
Dalam sejarah pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan (at-tahsin wa at-taqbih al-aqliyyayn).
-       Asy’ariyyah: akal tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara’. Tolok ukur keduanya pada syara’.
-       Muktazilah: akal dapat mengetahui keduanya, sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudharat. Agama memerintahkan dan melarang karena manfaat dan mudharat yang ditetapkan akal.
-       Muturidiyah: akal dapat mengetahui dan keburukan, tetapi hukum agama tidak selalu sejalan dengan pertimbangan akal. Tolok ukurnya adalah perintah dan larangan agama, sebab akal boleh jadi keliru atau berbeda dalam menetapkan keduanya.
Kendati berbeda, mereka sepakat mangatakan, sumber penetapan huku adalah syariah, baik yang tertuang dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad.[6]
c.    Kemaslahatan dalam muamalat duniawi ada yang tidak diketahui akal dan hanya dapat diketahui melalui wahyu, karena itu perlu berpegang pada ketentuan syariah untuk mencegah kekacauan dan kebimbangan.
d.   Hak-hak mukallaf (hamba) tidak lepas dari hak Tuhan. Ath-Thufi membedakan antara ibadat yang dianggap hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada ketentuan syara', dan muamalat yang merupakan hak hamba sehingga yang menjadi tolok ukur adalah kemaslahatan hamba walaupun bertentangan dengan nash. Asy-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap bentuk taklif terdapat hak Allah". Bentuk hukuman kudud jika telah sampai ke tangan hakim, selain qishash, qadzaf, dan mencuri, tidak dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh pihak terkait.
e.    Di dalam syariah tidak ada yang bertentangan dengan akal. Mengedepankan maslahat daripada nash mengesankan ada sekian maslahat yang bertentangan dengan syariah. Ini berlawanan dengan kenyataan bahwa agama (syariah) sejalan dengan akal dan fitrah manusia.
f.       Tidak ada pertentangan antara nash dan maslahat. Kemaslahatan yang hakiki terletak pada cakupan maqdshid syari'ah, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya.[7]

Bagaimana al-Qur'an dipahami sekarang?

Zhahiriyyah, Bathiniyyah, dan 'Aqldniyyah bukan hanya milik zaman dan waktu tertentu, melainkan selalu ada di setiap zaman dalam bentuk yang berbeda.
I.          Neo-Zhahiriyyah
Mereka mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara cirinya dalam pemahaman teks:
a.        Memahami teks secara literal (harfiyah) dan kaku, tanpa melihat ^iliai atau maqashid di balik teks.
b.        Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit dan berlebihan (al-ghuluww).
c.         Menganggap dirinya yang paling benar, dan lainnya salah.
d.        Tidak menolerir perbedaan pendapat atau pandangan.
e.         Berburuk sangka dan bahkan mengafirkan pandangan yang berbeda.
Di antara produk pemikirannya saat ini: uang kertas yang beredar saat ini bukan uang syar'i seperti dalam al-Qur'an dan Sunnah sehingga tidak wajib dizakatkan; Zakat fithrah hanya dapat dilakukan dengan bahan makanan, tidak dapat diganti uang; Televisi dan fotografi haram berdasarkan Hadits yang melaknat mushawwiru).
2.        Neo-Bathiniyyah
Perasaan inferiority complex yang dialami umat Islam melahirkan sikap kagum terhadap prototype peradaban Barat yang maju, sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawdbit, bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang.
Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realitas dilakukan melalui upaya mencari maqdshid syari'ah yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya.
Yusuf al-Qardhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu'aththilah al-Judud" (Neo-Mu'aththilah). Kalau mu'aththilah klasik bermain pada tataran akidah, neo-mu'aththilah bermain pada tataran  akidah, neo-mu’aththilah bermain pada tataran syariah.
Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern terjadi upaya meruntuhkan syariah seperti pada hukum keluarga, warisan, kudud, dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya.
Secara umum, kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber, prinsip, dan hukum syariah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat.
            Pijakan dalam memahami teks:
1.        Mengedepankan akal daripada wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan meskipun harus berbenturan dengan nash syar'i.
2.        Dengan dalih maslahat, Umar bin Khaththab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu'allafah qulubuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat paceklik terjadi dan lainnya.
3.        Ungkapan yang sering disebut berasal dari Ibnu al-Qayyim, "Di mana ada maslahat di situ ada syariah", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada nashnya, atau jika ada, mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada syariah di situ ada maslahat".
4.        Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya. Al-'Ibrah bi khushush as-sabab, la bi 'umum al-lafzh, demikian ungkapan yang sering digunakan.[8]

Metode Pembacaan Alternatif

Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[9] sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode tengahan/ moderat).[10] Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan Hadits. Rasulullah saw. bersabda:
"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan penyelewengan mereka yang berlebihan".
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan.
Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.
Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1.        Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2.        Memahami realitas kehidupan secara baik.
3.        Memahami prinsip-prinsip syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4.        Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5.        Menggabungkan antara "yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu 'dsharah).
6.        Menjaga keseimbangan antara tsawdbit dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7.        Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama.

Pijakan dalam Memahami Teks
1.        Memadukan antara yang zhahir dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir nash.
2.        Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah Ummiyyah).
3.        Membedakan antara makna syar'i dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah [9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
4.        Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah) antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.        Membedakan antara makna haqiqi dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a.    Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna lain yang dituju.
b.    Ada qarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah) yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c.    Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi  yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[11]

6.        Memerhatikan hak-hak al-Qur'an yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain: pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiktif. Demikian, wallahu a'lam.


Jihad dalam A-Quran dan Sunnah

Banyak pakar mensinyalir, salah satu penyebab ketertinggalan umat Islam saat ini adalah karena meninggalkan dan menjauh dari ajaran al-Qur’an dan hadits. Meninggalkan dimaksud berupa ketidaktahuan yang berakibat pada kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. QS. Al-Baqarah [2]: 78 menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai “ummiyyun” (buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik. Kalaupun mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah) seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna, kolumnis Mesir terkemuka, menyebutkan dengan istilah ummiyyah diniyyah (buta aksara agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena propaganda musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, perilaku, dan pemikiran sebagian kaum Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.
            Tak dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, Al-Qur’an dan Hadist merupakan dua sumber ajaran yang mengatur banyak hal dan harus dipedomani dalam hidup. Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-Nahl [16]: 44). Al-Qur’an tidak hanya berisikan persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup berbagai persoalan etika, moral, hukum, dan system kehidupan lainnya. Sedemikian lengkapnya ajaran al-Qur’an, sayyiduna Abu Bakar ra. Berujar, “Seandainya tambat untaku hilang, pasti akan aku temukan dalam al-Qur’an.” Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat universal untuk semua umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian banyak isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, bahkan juga hadist, yang sejalan dengan penemuan ilmiah para ahli.
            Meski menyatakan dirinya telah “menjalankan segala sesuatu”, namun tidak berarti al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas (6236 ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta kandungannya yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran. Otoritas tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam bentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut Hadits atau Sunnah. Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al-Qur’an dan Hadits tidak dapat dipisahkan, karena jika al-Qur’an dipandang sebagai sebuah konstitusi (dustur) yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk mengarahkan kehidupan manusia, maka Hadits merupakan rincian penjelasannya. Al-Qur’an sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci, Rasulullah diberi kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An-Na-hl [16]: 44). Penjelasan itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut Rasulullah senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An-Najm [53]: 3).
            Dengan kata lain, Hadits dan Sunnah adalah bentuk lain dari al-Qur’an yang wujud dan hidup. Jika Anda ingin mengetahui tuntunan akhlak al-Qur’an, maka perhatikanlah kehidupan Rasul, demikian makna yang tersirat dari sebuah Hadits riwayat Aisyah ra. Tanpa Hadits atau Sunnah, banyak hal menyangkut ibadah dan muamalah dalam Islam yang tidak pernah diketahui. Dalam Al-Qur’an ditentukan perintah shalat, tetapi tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai bilangan rakaatnya, tata cara, dan waktu  melaksanakannya, serta jenis shalat yang diwajibkan dan dianjurkan. Penjelasan semua itu ada dalam hadits. Ukuran, jenis, dan wktu pelaksanaan zakat juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Demikian pula tata cara pelaksanaan puasa, haji, transaksi jual beli, dan lainnya yang hanya diterangkan secara global oleh al-Qur’an. Dari sini banyak ulama memahami keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, sehingga mengamalkan  Hadits berarti juga mengamalkan al-Qur’an. Firman Allah: “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan, barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa’ [4]: 80).
Suatu ketika seorang perempuan dari Bani Asad mendatangi sahabat Rasul, Abdullah bin Mas’ud, dan memprotes sikap Ibnu Mas’ud yang mengecam keras perempuan yang mentato (al-wasyimat) dan yang minta ditato (al-mustawsyimat). Perempuan itu berdalih, larangan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an . Ibnu Mas’ud menjawab. “Larangan tersebut dapat Anda temukan dalam sebuah ayat, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr [59]:  7). Ayat ini juga dibacakan oleh Abdurrahman bin Yazid, seorang ulama generasi awal, ketika ada seorang yang memperotes larangan mengenakan baju saat berihram dengan alasan tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, ayat tersebut menegaskan kedudukan Hadits sebagai referensi hukum saat tidak ditemukan rincian penjelasan dalam al-Qur’an. Dari sini, tidaklah tepat pandangan sebagai kalangan yang merasa cukup dengan hanya berpedoman pada al-Qur’an. 
Contoh kasus dalam menjalankan Syariat Islam
Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
            Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
            Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
            Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.

Jihad Al-Islam

Islam kita yakini sebagai agama penyempurna, yaitu agama yang menuntaskan firman-firman Allah kepada umatnya. Karena itu, seharusnya dengan disampaikannya Islam oleh Nabi Muhammad saw, maka tidak ada lagi rujukan lain bagi umat manusia, khususnya kita yang mengaku diri sebagai Muslim, kecuali al-Qur'an dan Hadits. Jika saja semua orang mau mengacu kepada al-Qur'an dan Hadits itu, maka Allah menjanjikan bahwa dunia ini akan seperti surga, damai, tenang, sejahtera, tidak ada kejahatan, tidak ada polusi, tidak terjadi pemanasan bumi ata.u kekurangan bahan pangan dan mahalnya minyak bumi, tidak ada perang dan terorisme dan sebagainya.
Sayangnya, faktanya umat manusia tidak seperti yang kita harapkan. Al-Qur'an sendiri sudah mengingatkan bahwa umat manusia diciptakan berbeda-beda dan bergolong-golongan agar saling mengenal, seperti dalam firman-Nya: "Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. al-Hujurat [49]: 13), tetapi umat manusia justru terus-menerus saling berperang, saling berbunuhan, dan saling menzalimi. Beberapa di antaranya, bahkan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an tentang jihad, sebagai alasan untuk memerangi orang-orang yang tak sepaham atau sealiran dengannya. Bukan hanya yang berlainan agama, tetapi juga yang seiman.
Tentu saja Islam bukan dimaksudkan untuk saling menghancurkan, karena Allah sendiri menghendaki sesama Muslim untuk saling bersaudara. Bahkan, dengan seluruh umat manusia dan mahluk hidup lain di muka bumi ini, manusia harus saling memelihara dan menjaga. Masalahnya, setelah Nabi dan para sahabat wafat, maka tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang mendapat petunjuk langsung dari Allah swt. atau Rasulullah sendiri. Semua orang mendapatkan pengetahuan, penghayatan, bahkan sampai keimanannya dari mendengar, atau belajar dari orang lain, atau membaca karangan-karangan manusia lain. Pendek kata, kita harus mengacu kepada narasumber lain di luar Allah dan Rasulullah sendiri.
Narasumber itu bisa saja ulama kaliber dunia, atau ustadz lokal, tetapi semuanya hanyalah manusia biasa, dan setiap manusia biasa tidak bisa melepaskan diri dari sifat subjektifnya. Maka, tidak mengherankan jika al-Qur'an yang hanya satu itu, bisa memunyai ratusan, bahkan mungkin ribuan tafsir. Tidak aneh juga jika hadits-hadits itu berjenjang dari yang paling shahih sampai yang paling tidak shahih. Sementara hadits shahih yang diajarkan oleh seorang kiai atau ustadz, justru dianggap tidak shahih oleh kiai atau ustadz yang lain. Itulah sebabnya Islam terbagi-bagi dalam begitu banyak aliran: Syiah, Sunni, dan sete usnya, dan antaraliran itu bisa saling berperang, seperti yang terjad antara kaum Syiah dan Sunni di Irak pada tahun 2000-an ini.
Bagaimana cara mengatasi hal vang tidak diharapkan ini? Wallahu a'latn bis-shawwdb. Tetapi, ada satu hal yang kiranya masih bisa kita lakukan, untuk setidaknya mengurangi atau mencegah kemungkinan penyalahgunaan konsep 'jihad' untuk tujuan-tujuan menggunakan kekerasan terhadap golongan lain. Terlepas dari keyakinan masing-masing, tetapi setiap perbuatan yang merugikan orang lain (membunuh, membom, merampok, dan lain-lain), walaupun dilakukan atas nama jihad, tetap tidak dibenarkan, karena hal itu sudah merupakan tindakan kriminal yang terkena sanksi hukum negara. Tulisan ini ditujukan untuk meluruskan apa yang dimaksud dengan jihad itu sebenarnya. Intinya adalah bagaimana menafsirkan jihad itu dengan tepat, sehingga hasilnya bermanfaat untuk membesarkan Islam dan menyejahterakan umat. bukan justru malah saling menghancurkan antarumat.
Kami berterima kasih, karena dari penelitian-penelitian di lembaga kami, terbukti bahwa faktor penyebab utama dari timbulnya berbagai perilaku kekerasan (termasuk terorisme) yang dilakukan oleh beberapa saudara kita yang seiman, adalah menafsirkan konsep jihad seperti yang diajarkan oleh guru-guru, ustadz-ustadz, atau tokoh-tokoh panutan mereka, sedemikian rupa, sehingga mereka beranggapan bahwa jalan kekerasan itulah jalan satu-satunya yang benar. Karena itu, memang sangat diperlukan tafsir-tafsir yang lebih rasional dan lebih mendekati apa yang dimaksudkan oleh Islam yang sesungguhnya, untuk mencegah terulangnya kembali aksi-aksi kekerasan dengan nengatasnamakan jihad di kemudian hari.

Jihad di Dunia Islam


                       Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia  tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras  meyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren dan madrasah  sebagai sarang teroris.

              Para pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakan oleh jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang biasa, bahwa pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris jelas menunjukan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih jauh lagi meluka perasaan seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.

                                Kekeliruan anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, secara kelembagaan pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain.

                                Kedua, Kurikulum dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan beribadah, muamalah dan akhlak alkarimah. Di dalam pesantren memang diajarkan tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh. Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad, senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad  yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan.

                                Ketiga, adanya beberapa pelaku teroris yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme. Tidak sedikit founding fathers ( pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mutjahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang penjahat alumni sekolah atau universitas , tidak berarti lembaga pendidikan tersebut mendidik siswa atau mahasiswanya menjadi penjahat.

                                Karena itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang  teroris. Penelitian membuktikan bahwa para pelaku teroris justru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam pengalaman hidup, Ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik  inilah yang sering kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab tindakan terorisme.

                                Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini, penyelesaian masalah secara kompherensif haruslah dilakukan secara arif, teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat islam pasca peristiwa 11 September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme Negara yang ditunjukan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak, dan Afghanistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya dilakukan dengan metode yang bersifat komprehensif, edukatif, dan jauh dari diskrriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.

-----
           Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian menyampaikan kebenaran  terhadap penguasa yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan kepedulian, sosial. Kedua, obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu, kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu azas iman,amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun kesejahteraan. Kelima, Indonesia bukan wilayah dar al-harb melainkan Negara damai dan Negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.



Jihad yang Kaffah

Pengertian dan Cakupan Mati Syahid

Kata syahid dan bentuk jamaknya syuhada digunakan dalam sejumlah ayat al-Qur’an. Diantaranya firman Allah yang menyatakan:

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itu teman yang sebaik-baiknya.” (Qs. An-Nisa [4]:69).

          Menurut Tafsir al- Fakhr ar-Razi, asy-syahid adalah orang yang memberi  kesaksian akan kebenaran agama Allah, baik dengan argument atau penjelasan, maupun dengan pedang dan tombak. Orang yang terbunuh di jalan Allah disebut dengan syahid. Sebab, orang tersebut mengorbankan jiwanya demi membela agama Allah dan jiwanya demi membela agama Allah dan menjadi kesaksian baginya bahwa agama Allah itu yang benar. Lain dari itu adalah batil( ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180). Dalam ungkapan yang lain, penulis at- Tafsir al-Wadhih menerangkan, bahwa syuhada adalah orang yang menyaksikan kebenaran dengan alasan dan bukti serta berperang di jalan Allah dengan pedang dan tombak hingga ia terbunuh (Hijazi, 1969: juz 5, h.32). Dalam pandangan kedua musafir itu, senjata yang  digunakan menunjuk kepada peralatan perang yang masih bersahaja yang digunakan pada masa al-Qur’an diturunkan.

            Menurut penulis Tafsir Majma’ al-Bayan, syuhada adalah orang-orang terbunuh di jalan Allah, bukan mati karena maksiat. Seorang muslim sangat dianjurkan untuk mendapatkan predikat syahid tetapi tidak boleh mendambakan dibunuh orang kafir sebab pebuatan itu adalah maksiat, yang terbunuh itu benar-benar ikhlas dalam menegakan kebenaran karena Allah, mengakui dan mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu Syuhada adalah predikat terpuji. Orang boleh mendambakan predikat itu, tetapi orang tidak boleh mendambakan dibunuh oleh orang kafir,sebab perbuatan itu adalah maksiat (ath-Thabari,1994: jilid 3, h. 121).

            Penegasan yang hampir sama dikemukakan oleh Imam ar-Razi. Ia mengatakan bahwa memohon kepada Allah agar mati terbunuh di tangan orang kafir tidak dibolehkan. Permintaan semacam itu adalah suatu bentuk kekafiran (Lihat ar-Razi, 1995: jilid 5, h. 180).

            Berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menjelaskan :

Barang siapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan benar, Allah akan membuatnya sampai pada derajat kesyahidan, meskipun ia mati di atas tempat tidurnya(an-Nawawi, 2005 :245)

            Dalam hadis riwayat Imam Muslim yang lainnya Rasulullah SA, mengatakan:

Barang siapa mencari kesyahidan akan diberikan kepadanya, meskipun ia tidak gugur sebagai syahid” (an-Nawawi, 2005:245).

            Berdasarkan kedua hadis di atas, dapat dipahami bahwa kesyahidan dapat diidam-idamkan, namun kesyahidan yang dimaksud harus dengan jalan yang benar. Selain itu derajat kesyahidan dapat di peroleh meskipun orang yang bersangkutan tidak mati terbunuh. Dengan kata lain, derajat kesyahidan terletak pada nilai perbuatan seorang muslim yang telah turut serta berperang di jalan Allah.

            Menurut al- Jurjawi, Allah SWT,  memberi keutamaan kepada orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka. Allah berfirman: “ Mereka berperang di jalan Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh” (Qs. At-Taubah[9]: 111). Itu tidaklah dimaksudkan bahwa mereka mesti mengalami kematian.

            Namun, maksudnya adalah mereka berperang baik mereka terbunuh atau tidak terbunuh. Jika mereka terbunuh, maka  hal itu adalah sesuatu yang jelas dan dimaklumi. Akan tetapi, jika mereka tidak terbunuh, maka mereka akan tetap memperoleh imbalan dan pahala. Mereka telah menantang bahaya dan menyiapkan diri untuk mati tanpa memperdulikan urusan dunia dengan segala keindahan dan perhiasannya. Mereka juga tidak memikirkan apa yang mereka tinggalkan seperti keluarga,harta benda dan anak-anak (al-Jurjawi,1997: jilid 2, h. 221-222).

Syuhada dikenal luas dalam sejarah Islam ketika terjadi perang Badar. Ketika itu tentara muslim berperang melawan tentara kafir Quraisy dari kaum muslimin gugur sebanyak 14 orang, sementara di pihak musyrikin gugur 70 orang. Tentara muslim yang gugur dimakamkan dengan perlakuan khusus sebagai syuhada, misalnya dengan tidak dimandikan. Perang Badar dimenangkan oleh pihak kaum muslimin. Kemenangan itu ditandai, antara lain, dengan keberhasilan mereka menekan jumlah korban di antara anggota pasukannya dan menghalau pasukan musuh.

            Perang Badar terjadi pada tahun kedua Hijrah. Nabi Muhammad SAW. Bersama para sahabatnya hijrah ke Madinah untuk menghindari gangguan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum musyrikin pada periode Mekkah selama kurang lebih 13 tahun. Ketika ancaman masih terjadi pada periode Madinnah, maka perang antar kedua belah pihak tak dapat dielakan. Fakta sejarah tersebut, sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. yang menyatakan:

Janganlah kalian mendambakan untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah kepada Allah keadaan yang sehat sejahtera, namun jika kamu bertemu dengan mereka, maka tegarlah. Muttafaqun ‘alaih (an-Nawawi, 2005: 248).

            Tentara muslim yang mengikuti peperangan di jalan  Allah terikat dengan sejumlah ketentuan. Syarat-syarat utuk menjadi tentara, yakni: 1) Baligh, 2) Islam, 3)  Sehat jasmani dan rohani, dan 4) Keberanian (fisik yang tangguh, tahu tentang peperangan, terampil menggunakan senjata, mampu menghadapi kesulitan dalam perjalanan, dan tidak pengecut (Khattab, 1989: 56).

            Hampir senada dengan penjelasan di atas, ulama fiqih menyebutkan bahwa kewajiban untuk berjihad didasarkan atas beberapa ketentuan, yakni: muslim, laki-laki, berakal, sehat, dan memiliki bekal yang cukup baginya dan keluarganya hingga jihad selesai (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 32). Ulama fiqih merinci sejumlah ketentuan dalam perang yang mencerminkan belas kasih (rahmah) yang terdapat dalam ajaran Islam. Dikatakan bahwa kalaupun Islam membolehkan perang sebagai salah satu tuntutan darurat, maka Islam memberinya batasan tertentu. Orang yang tidak terjun ke dalam kancah peperangan tidak boleh dibunuh, orang sakit, orang tua jompo, rahib, al-ubbad (ahli ibadah), dan al-ujara (pelayan). Islam juga mengharamkan al-mutslah (penyiksaan), membunuh hewan, merusak tanaman, air, mencemari sumur dan menghancurkan rumah. Islam melarang untuk membunuh orang terluka, mengejar orang yang lari dari medan perang. Hal itu disebabkan karena perang itu laksana tindakan operasi bedah, tidak boleh melampaui tempat penyakit itu berada v(Sabiq, 1983 : jilid 3, h. 60).

Diriwayatkan dari Anas ra., bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “ Berangkatlah kalian dengan nama Allah, dengan (pertolongan) Allah, sesuai tuntutan agama(yang diajarkan) Rasulullah, janganlah kalian membunuh orang tua jompo, anak yang masih kecil, perempuan, dan janganlah kalian melampaui batas, kumpulkanlah harta rampasan perang kalian, ciptakan kedamaian, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (H.R. Abu Daud) (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47).

            Orang jompo dan wanita yang dikecualikan untuk dibunuh adalah mereka yang turut serta berperang atau memberi pertimbangan kepada pasukan musuh (Sabiq, 1983: jilid 3, h. 47). Menurut Tafsir Departemen Agama, orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir dikategorikan sebagai syahid dunia dan akhirat., Istilah syahid akhirat digunakan terhadap : a) orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakan; b) orang yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, dan terbunuh dengan aniaya. Adapun syahid dunia digunakan terhadap orang yang mati berperang melawan orang kafir hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama, dan sebagainya (Sakho Muhammad, et.al., 2004: jilid 2, h. 200). Pembagian syahid semacam ini  dikemukakan pula dalam sejumlah kitab, seperti Fiqh as Sunnah(Sabiq, 1983: jilid 3, h. 40).
            Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang memuji orang-orang yang mati syahid, diantaranya:

 “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati, sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”(Qs. Al-Baqarah [2]: 154).

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Merka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh untuk terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan besar.” (Qs. At-Taubah [9]: 111).

Tindakan Bom Bunuh Diri

Saat ini, tindakan bom bunuh diri banyak dilakukan di berbagai tempat, biasanya sebagai salah satu bentuk perlawanan pihak yang lemah terhadap pihak yang lebih kuta. Tindakan bom bunuh diri biasanya dilakukan terhadap sasaran yang tidak jelas. Tindakan ini  tidak hanya menyebabkan pelakunya meninggal dunia, tetapi biasanya juga menyebabkan kematian banyak orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang menjadi korban sering  tidak mempunyai kaitan denan pihak yang dimusuhi atau memusuhi pihak pelaku bom bunuh diri.

            Pelaku bom bunuh diri atau pendukungnya merujuk kepada hadis-hadis yang menceritakan tentang tindakan tentara muslim yang menerobos pihak lawan untuk melakukan penyerangan hingga akhirnya ia mati terbunuh. Tindakan semacam ini disebut inghimas (jbaku). Ada sejumlah hadis yang melukiskan tindakan inghimas. Di antaraya:

Dari Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: “Saya mendengar ayahku radhiyyalhu ‘anhu, selagi ia sedang menghadapi pasukan musuh, berkata: Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Sesungguhnya pintu-pintu surge  berada dibawah bayang-bayang pedang.’Seorang laki-laki yang usang pakaiannya lalu berdiri dan berkata: ‘ Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengarkan Rasulullah SAW mengatakan yang demikian ini? “ Abu Musa menjawab: “Ya”. Abu Musa berkata: “Orang itu lalu kembali ke kawan-kawannya seraya berkata: ‘Saya mengucapkan salam kepada kalian. ‘Ia kemudian memecahkan sarung pedangnya lalu mencampakannya. Selanjutnya, ia berjalan sambil membawa pedangnya kearah musuh dan menyerang dengan pedangnya itu hingga ia terbunuh. (H.R.Muslim) (an-Nawawi,2005:242).

            Hadis di atas berisi motivasi kepada tentara muslim yang sedang berhadapan dengan tentara musuh di medan perang. Imbalan berupa surga yang dijanjikan kepada mereka yang mati dalam perang, membuat anggota pasukan berani menghadapi musuh tanpa menghitung resiko yang bakal dialaminya, baik yang berupa cacat fisik maupun kematian. Kandungan hadis di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan bom bunuh diri.

            Tindakan bom bunuh diri mempunyai karakteristik. Di antaranya: Pertama, perbuatan ini termasuk tindakan bunuh diri atau kematian direncanakan. Kedua, perbuatan ini menyebabkan orang-orang yang tidak bersalah ikut menjadi korban dan menyebabkan ketakutan orang banyak. Ketiga, Perbuatan ini mencerminkan sikap putus asa dan ketidakmampuan mencari bentuk tindakan yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu masalah. Keempat, perbuatan ini mempunyai tujuan yang tidak jelas pula. Kelima, pertimbangan subyektif sangat menonjol dalam suatu tindakan bunuh diri.

            Seorang ulama terkenal pada zaman ini, Wahbah Zuhaily, dalam kitabnya Al-Fiqh al- Islamy Wa Adilatuhu dalam bab Qowaid al –jihad menyatakan bahwa jihad hanya terjadi pada tiga hal, yaitu:

1.     Apabila perbuatan itu terjadi pada saat bertemunya dua pasukan yang sedang saling bertempur, yaitu pasukan Islam dan pasukan musuh.
2.     Apabila penduduk suatu negeri muslim diserang oleh musuh.
3.     Apabila Amirul Mukminin, pemimpin negeri muslim, memerintahkan warganya untuk pergi ke medan perang.


Kalau kita perhatikan, tampak beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadis yang tidak membenarkan tindakan bom bunuh diri. Di antaranya adalah: Pertama, larangan Al-Qur’an untuk membunuh diri sendiri:

Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan kami masukan dia ke dalam mereka. Yang demikian itu mudah bagi Allah (Qs. An- Nisa [4]: 29-30).

Kedua, larangan mencelakakan diri sendiri.

“Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan Janganlah kamu jatuhkan ( diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs Al-Baqarah [2]: 195).


            Ketiga, larangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.

“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia  seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang  manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu 413 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (Qs. Al- Maidah[5]: 32)

            Keempat, larangan berputus asa dari rahmat Allah.

 “Hai anak-anaku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Alah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Yusuf [12]: 87)


Perbedaan antara Mati Syahid dengan Bom Bunuh Diri

Amaliyat al- isytisyhad berbeda dengan bom bunuh diri. Pertama, orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyat al- isytisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimistis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pelaku amaliyat al- isytisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah subahanahu wata’ala. Kedua, bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan putus asa (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak al-nafs), baik dilakukan di daerah damai (dar al-shulh/dar a1-salam/dar al-da’wah) maupun di daerah perang (dar al-harb). Ketiga, amaliyat al –isytisyhad (tindakan mencari kesyahidan) diperbolehkan karena merupakan bagian dari jihad binafsi yang dilakukan di daerah perang (dar al- harb) dengan tujuan  untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri (Fatwa MUI tentang Terorisme). Dalam konteks ini Indonesia bukanlah dar al-harb melainkan dar al-sulh dan dar al-mu’ahadah (Negara dalam perjanjian). Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 mengikat semua kaum muslim dan non- muslim di Indonesia untuk mempertahankan kedamaian dan keutuhan negara. Semua umat beragama, termasuk umat  Islam, memiliki kebebasan untuk menjalankan  ajaran agamanya secara damai.