Tuesday, April 30, 2013

Definisi Ikhlas




Al-Qusyairi menyebutkan bahwa pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya, ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.
                          
Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah dilakukan itu.

Kedua penulis lalu menjelaskan tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.

Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.

Sementara itu, ria (budaya pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas. Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”

Kedua penulis lalu mengungkapkan bahwa pelaku amar makruf nahi mungkar harus mengedepankan sifat rendah hati, penyayang, dan penyabar. Hanya saja, sayangnya masih cukup sering terjadi adanya pelaku amar makruf nahi mungkar yang justru lebih mendahulukan kekuatan dan kekerasan. Celakanya hal itu dilakukan tanpa ilmu dan pengetahuan yang mencukupi.

Monday, April 29, 2013

Ikhlas dalam Introspeksi


Penulis memulai bab ini dengan menyebutkan bahwa sikap berlebihan dalam amar makruf nahi mungkar hadir dalam banyak bentuk dan macamnya. Di antaranya ada orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kegemarannya dalam menguasai dan menaklukkan orang lain. Ada pula orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar secara berlebih-lebihan dalam arti untuk memenuhi hawa nafsunya. Di sisi lain, ada pula orang yang suka melakukan amar makruf nahi mungkar, tetapi ia justru merasa kecewa jika kemungkaran sudah mereda ketika ia sebelum datang. Hal itu karena ia merasa tidak kebagian dalam mencegah kemungkaran dimaksud dan tidak berkesempatan melawan atau menyakiti pelaku kemungkaran. Hal semacam ini tentu tidak baik mengingat tujuan adanya perintah amar makruf nahi mungkar adalah untuk kebaikan umat secara keseluruhan. Artinya, asalkan kemungkaran itu sudah tidak ada maka hal itu menunjukkan kemajuan, tidak pandang siapa yang mencegah kemungkaran itu. (hal. 33)

Keikhsalan merupakan rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada yang mengetahui keikhlasan seseorang kecuali Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada” (QS. Ghafir [40]: 19). Menurut penulis buku ini, penting bagi setiap orang untuk belajar keikhlasan, termasuk dalam melakukan amar makruf nahi munngkar. Hal itu karena sebagaimana amalan lain, amar makruf nahi munngkar pun dilakukan tidak lain untuk mencari ridha Allah. Allah Swt berfirman, “...Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).

Sunday, April 28, 2013

Negara Islam, Syariat Islam



Menerapkan hukum Allah adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengambil hukum lain sepanjang telah diterangkan oleh Allah dan rasul-nya.persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum seseorang/Negara yang tidak memberlakukan hukum Allah,sementara dalam QS. Al ma’idah[5]: 44, 45 dan 47 Allah menyatakan secara berturut-turut.
      Ketiga ayat di atas memang menimbulkan dua penafsiran ekstrem yang berbeda-jika tidak saling bertentangan-antara satu dan yang lain.mereka yang cenderung radikal memaknai ketiga ayat tersebut sebagai beentuk justifikasi pengafiran orang/kelompok/Negara/muslim yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah.bagi mereka hanya ada dua pilihan: Menjadi muslim dengan memberlakukan semua hukum-hukum Allah, atau menjadi kafir karena telah melanggar semua /sebagian hukum tersebut.
      Di sisi ekstrem yang lain, kelompok sekularis mengatakan bahwa ketiga ayat diatas tidak ada hubungannya dengan kaum muslim, karena ketiga ayat tersebut diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, bukan kepada kelompok Muslim. Pendapat kedua ini banyak di pengaruhi oleh pra-asumsi bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan sistem hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang di yakini oleh Ali Abdul Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm. Pendapat Ali Abdul Raziq ini memang menimbulkan banyak penolakan dari para cendekiawan Muslim terkemuka, sebagaimana direkam secara baik oleh Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’rakat al-Islam wa Ushul al-Hukm. Di antara cendekiawan Muslim yang cukup keras menolak pendapat Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Dhiya’uddin ar-Reis dalam bukunya “al-Islam wa al-Khalifah”. Menurut ar-Reis, penafsiran bahwa ketiga ayat di atas hanya diperuntukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani dan tidak ada sangkut pautnya dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang sama sekali tidak tepat. Sebab, kata “man” (siapa saja/barang siapa) dalam ketiga ayat itu adalah suatu lafal yang bersifat umum. Oleh karenanya, penggalan akhir dari ketiga ayat tersebut menyuguhkan kepada kita redaksi yang bersifat umum, yang tentu mencangkup di dalamnya kaum Muslim. Kecuali itu, menurut ar-Reis, pengkhususan perintah penerapan hukum Allah sebagaimana tertuang dalam ketiga ayat itu hanya kepada umat Yahudi dan Nasrani-dua agama samawi yang relative lebih sedikit memuat aturan-aturan hukum dibandingkan aturan-aturan dalam Islam yang lengkap-merupakan pengkhususan yang out of contexs. Sebab, Islam sebagai agama yang lebih banyak memuat aturan-aturan hukum lebih layak dituntut untuk menerapkan aturan-aturan hukumnya ketimbang umat Yahudi dan Nasrani.
Tentu saja, penolakan yang keras atas interpretasi kelompok sekularis itu muncul dari kelompok radikal yang sayangnya, justru melahirkan suatu sikap ekstrim lain karna begitu mudah mengafirkan mereka yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan, kelompok radikal yang sering disebut sebagai Hakimiyatullan yang kerap mengatribusi umat Islam dewasa ini sebagai masyarakat jahiliyah (sebagaimana di tuturkan oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb), lebih jauh menganggap sistem demokrasi yang di anut oleh hampir seluruh Negara dunia Islam dewasa ini, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah, dan karenanya di anggap komunitas-negara kafir. Tentu saja, sikap ekstrim-radikal ini tidak dapat di benarkan, sebagaimana penafsiran kaum sekularis liberalis atas ketiga ayat di atas untuk memisahkan Islam dari sistem hukum juga tidak dapat dibenarkan.
     Oleh karena itu, mari kita melihat ketiga ayat di atas dengan lebih cermat, sehingga kita dapat mendapatkan suatu penfasiran yang tepat dan proporsional pertama-tama sekali, dalam pandangan mayoritas umat Islam, masalah hukum merupakan persoalan furu (fiqih-syariah) dan bukan ushul (akidah/sistem keimanan). Jika perbedaan pendapat dalam masalah furu hanya dapat dikatakan “benar” atau “salah”, maka dalam masalah ushul, seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran. Oleh karenanya, mereka yang tidak menjalankan hukum Islam karena melanggar-bukan lahir dari pengingkaran dan penentangan-tidak dapat di anggap telah keluar dari Islam (kafir). Lebih dari itu, sebagaimana perbedaan iman dan Islam yang telah di jelaskan diawal tulisan ini, persoalan hukum lebih merupakan aspek amaliyyah yang bersifat lahir (Islam), bukan termasuk aspek akidah (iman), yang membuat seseorang bisa menjadi kufur bila melanggarnya. Alhasil, mereka yang melanggar hukum-dari keimanan dan keIslaman (kafir), kecuali perbuatan maksiat yang di lakukan adalah suatu perbuatan yang menunjukkan kekufuran (seperti bersujud kepada selain Allah untuk maksud penyembahan dan penuhanan).
Demikianlah, melanggar perintah-perintah Allah dengan melakukan kemaksiatan, tidaklah membuat seseorang menjadi kufur, kecuali kemaksiatan yang di lakukannya di dorong oleh peningkaran dan ketidakpercayaan ataskewajiban-kewajiban agama.Dari titik ini dapat dikatakan bahwa pelanggaran dan pengingkaran adalah dua hal yang bebeda.Jika pelanggaran atas hukum-hukum agama akan membuat seorang Muslimmenjadi pendosa yang fasiq, maka pengingkaran akan kebenaran hukum Allah akan mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Dengan demikian, jika yang terjadi di Negara-negara Muslim adalah pelanggaran atas hukum-hukum Allah dengan tetap meyakini kebenaran ajaran-Nya, maka yang terjadi adalah kezaliman dan kefasiqan, bukan kekufuran.
     Menurut Fahmi Huwaidi, paling tidak ada dua sebab mengapa realitas penerapan suatu hukum yang Alllah turunkan bukanlah suatu bentuk kekufuran. Pertama, nash-nash agama tidak menganggap “pelanggaran” terhadap hukum Allah sebagai bentuk kekufuran. Karenanya, tak aneh ketika banyak khalifah di masa-masa awal Islam –saat beberapa Sahabat Nabi dan Ulama Tabi’in masih hidup– memaksa rakyat untuk membait  putra-putra mahkota mereka, suatu bentuk pelanggaran hukum atas syura yang ditetapkan Allah, namun tak seorang pun saat itu –kecuali Khawarij– yang mengafirkan para khalifah itu. Dan kedua, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menerapkan hukum selain hukum Allah bukanlah persoalan akidah dan keimanan, melainkan pelakunya termasuk dalam golongan pendosa (ashi) dan fasiq, bukan kafir.
     Pernyataan di atas sebenarnya akan semakin jelas bila kita melihat sebab turunya ayat 44,45 dan 47 dari QS. Al- Maidah seperti disebut di atas. Dalam berbagai kitab tafsir dikatakan bahwa ketiga ayat ini diturunkan kepada orang-orang Yahudi yang menolak pemberlakuan hukum rajam yang Allah tetapkan bagi penzina yang telah kawin (muhsan). Mereka berusaha mengganti hukum raja mini dengan hukum cambuk. Penolakan orang-orang Yahudi ini lahir dari keyakinan mereka bahwa hukum rajam yang Allah tetapkan itu tidak lagi sesuai dengan kondisi mereka. Penolakan yang dibarengi pelecehan ini tentu telah merusak akidah dan keimanan mereka akan kesempurnaan hukum yang Allah turunkan. Lebih jauh, orang-orang Yahudi ini kemudian mencari hukum lain yang mereka anggap lebih baik dari hukum Allah, yaitu hukum cambuk. Lengkaplah sudah bila penolakan, penghinaan, dan penyelewengan hukum Allah ini membuat mereka pantas menerima label kufur.
Oleh karena itu, menukil dari Tarjamun al-Qur’an, Ibnu Abbas ra, ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat-ayat di atas sebagai berikut , “Sesungguhnya orang yang menentang (jahada) apa yang Allah turunkan, maka ia telah kafir.tetapi,orang Yang mengakui hukum Allah tetapi tidak menerapkannya,ia adalah orang yang zalim dan fasiq.
     Sementara al-Qurthibi dalam tafsiranya mengatakan,”firman Allah ta’ala “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang orang yang kafir,orang orang yang zalim,otrang orang yang fasiq”.ayat-ayat ini dituruknkan kepada orang orang kafir sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim… adapun seorang muslim yang melakukan pelanggaran dosa besar,ia bukanlah kafir.dikatakan juga bahwa ayat tersebut ada yang tidak disebut tersurat,yakni bahwa mereka yagn tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena mengingkari al-Qu’ran dan menentang Rasul-Nya,maka ia adalah seorang kafir… menurut ibnu ma’sud dan al-hasan, ayat tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena menentang Allah dan hukum-hukumnya, baik kaum muslim, yahudi, nasrani atau musyrik.adapun yang melakukan kemaksiatan karena tidak yakin bahwa ia sebenarnya telah melakukan pelanggaran,maka ia termasuk orang muslim yang fasiq yagn perkaranya ada di tangan Allah,yakni diazab atau diampuni sesuai dengan kehendak-Nya.a”
     Penjelasan serupa juga kita dapatkan dalam tafsir ar-razi saat ia menjelaskan makna ayat 44 surah al-Ma’idah: “Ikrimah mengatakan bahwa firman Allah: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir”, hanya berlaku bagi mereka yang hati dan lidahnya mengingkari dan menentang hukum-hukum Allah. Adapun mereka yang hati dan lidahnya mengakui (hukum-hukum Allah), tetapi kemudian ia melanggar apa yang ada dalam hatinya, maka sebenarnya ia adalah orang yang meyakini kebenaran hukum Allah namun meninggalkannya dalam tindakan. Orang seperti ini tidak dapat dikatagorikan sebagai kafir sebagaimana dalam ayat di atas.’’
     Dari beberapa penafsiran di atas, menjadi jelas bahwa titik persoalannya memang berkisar pada ketidaktepatan beberapa kalangan dalam memahami kata kafir dalam ayat 44 QS. Al-Ma’idah. Oleh karenanya, dalam madarij as-salikin, Ibnu al-Qayyim membedakan dua macam kekufuran: Kufur-besar (al-kufr al-akbar) dan kufur-kecil (al-kufr al-ashghar). Kufur besar adalah kekufuran yang menyebabkan seseorang keluar dari agama sehingga kekal di neraka; sementara kufur-kecil menyebabkan pelakunya diancam siksa neraka namun tidak kekal di dalamnya. Kufur-besar membuat pelakunya keluar dari agama, sementara kufur-kecil tidak samapi membuat pelakunya keluar dari agama. Istilah kufur-kecil dapat didapati dari beberapa redaksi hadits Nabi, misalnya, sabda beliau: “Dua hal pada umatku yang meraka menjadi kafir (kecil) karenanya: Merusak nasab dan meratapi mayit (niyahah).” Demikian pula sabda beliau: “ Jangan kembali sepeninggalanku kepada kekufuran, (yaitu) sebagian kalian saling memukul leher sebagian yang lain (berperang/saling membunuh).”
     Menurut ibnu al-Qayyim, contoh lebih dari kufur-kecil yang tidak membuat pelakunya menjadi keluar dari agama adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Ma’idah [5] 44. Pendapatnya menyatakan,” Inilah penafsiran Ibnu abbas ra. Mayoritas sahabat atas ayat “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang–orang yang kafir”, di mana Ibnu abbas mengomentari ayat ini,” Sesungguhnya ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari Islam… bukan pula seperti kekufuran kepada Allah dan Hari Akhirat.” Demikian juga komentar Thawus atas ayat di atas,” Itu adalah kekufuran (kecil) yang bukan dan berada dibawah kekufuran (besar)…”
     Setelah memamparkan beberapa penafsiran ulama tentang makna kufur, Ibnu al-Qayyim samapi pada kesimpulan,” Yang benar adalah bahwa menerapkan hukum selain yang diturunkan Allah dapat mengantarkan pelakunya kepada dua jenis kekufuran: Kufur-besar dan kufur-kecil, tergantung kondisi pelakunya. Jika ia meyakini kewajiban hukum Allah dalam suatu perkara, tetapi ia melanggar dengan tetap meyakini bahwa pelanggarannya dalah suatu dosa, maka ia telah melakukan kufur-kecil. Tetapi, jika ia meyakini hukum Allah sebagai perkara yang tidak wajib, dan ia merasa bebas (tidak bersalah) saat mengabaikannya, maka ia telah terjerumus ke dalam kufur-besar. Sementara, bila ia melakukan akibat kebodohan dan kesalahan-penafsiran, maka ia termasuk orang yang bersalah… simpulnya adalah bahwa semua bentuk kemaksiatan (pelanggaran-pelanggaran atas hukum Allah) termasuk dalam jenis kufur-kecil, suatu jenis kekufuran yang merupakan lawan dari syukur yang menuntut ketaatan, (bukan lawan dari iman yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama).”
     Apa yang dikemukakan oleh para ulama klasik terkemuka sebagai dipaparkan di atas, juga menjadi pendapat beberapa cendekiawan Muslim kontemporer semisal Yusuf al-Qaradhawi. Dalam beberapa karyanya, al-Qaradhawi –mengutip pendapat Rasyid Ridha– menulis; “ Tepatlah senyalemen Allah dalam ketiga ayat surat al-Ma’idah itu ketika menyifati orang kafir, orang zalim, dan orang fasik, masing-masing sesuai dengan keadaannya. Bila seseorang menolak melaksanakan hukum Allah yang qath’i karena menganggapnya buruk dan lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia, maka ia telah terjerumus dalam kekafiran. Sedangkan orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu karena alasan lain yang mengakibatkan terjadinya pengabaian hak dan keadilan, maka dia adalah zalim; dan yang tidak mengakibatkan pengabaian hak dan keadilan sebagai fasiq saja. Sebab, kata fasiq lebih umum ketimbang lainnya. Setiap orang yang kafir dan zalim adalah fasiq; tidak sebaliknya.;
     Demikian pula khawatir  (kesan) yang diperoleh pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab, saat mengupas ayat 44 surah Al-Mai’dah berpendapat; “(ayat ini) dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap mereka yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi ini oleh mayoritas ulama.. adalah bagi yang melecehkan Hukum Allah dan mengingkarinya Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain, demukian pula kefadiqan dan kezaliman non-Muslim. (sebab), kekufuran seorang muslim bias diartikan pengingkaran nikmat… Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa siapa saja-tanpa kecuali-jika melecehkan hukum-hukum Allah atau enggan menerapkannya karena tidak mengakuinya, maka dia adalah kafir, yakni telah keluar dari agama Islam”.

Friday, April 26, 2013

Jihad Bernama Terorisme



Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata; 2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]
Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]: 39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS. al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.
Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12], 49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]
Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan jalan perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang.[3] Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]:  256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra., memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti......."[4]
Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5] Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.        Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2.        Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.        Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.        Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5.        Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.        Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma' al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya".[7]