Tuesday, April 16, 2013

Rasa Aman Bagi Seluruh Makhluk


Kedamaian dan rasa aman adaiah syarat mutlak bagi tegak dan sejahteranya satu masyarakat. Keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang kait-berkait. Jika tak ada rasa aman, maka kesejahteraan tidak dapat diraih dan dirasakan dan bila kesejahteraan tidak wujud, maka keamanan tidak dapat terasa, bahkan kekacauan dan kegelisahan tumbuh subur. Itu sebabnya ditemukan al-Qur'an menggarisbawahi keduanya bahkan menyandingkannya antara lain dengan merekam permohonan Nabi Ibrahim as. yang yang menyatakan:
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Tuhanku, jadikanlali negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka_dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. " (QS. al-Baqarah [2]: 126)
Nabi agung itu dalam permohononannya membatasi permintaannya menyangkut keamananan dan kesejahteraan hanya khusus untuk orang-orang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, tetapi oleh Allah pembatasan tersebut ditampik-Nya sambil menegaskan-sebagaimana terbaca di atas—bahwa yang kafir pun akan dianugerahi-Nya kesenangan di dunia—walaupun di akhirat nanti Allah akan memaksanya merasakan pedihnya neraka. Ini berarti bahwa Allah menghendaki dan memerintahkan agar keamanan dan kesejahteraan harus dapat menyentuh semua anggota masyarakat yang beriman maupun yang kafir.
Hal ini dipertegas oleh QS. at-Taubah [9]: 6, di mana Allah memerintahkan Nabi Muhammad" saw. (dari umat Islam) dengan firman-Nya:
"Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia aapat mendengar firman Allah, kemudian antarlah ia ke tempat yang c man baginya". (QS. al-Taubah [9]: 6)
Maksudnya, jangan paksa ia beriman, jangan juga menahannya di tempat kamu bila ia ingin meninggalkan kamu, tetapi biarkan dia pergi bahkan antar dia ke tempat yang aman.
Mufti Mesir dan Syekh al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, menulis dalam tafsirnya bahwa pemberitaan rasa aman dan perlindungan itu merupakan puncak dari perlakuan yang diajarkan Islam terhadap kaum musyrik, dan puncak dari segala puncak adalah pengawalan dan penjagaan yang diberikan kepada sang musyrik—yang secara teoretis berpotensi menjadi musuh Islam dan kaum Muslim—hingga ia keluar perbatasan wilayah Islam.
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa kendati seseorang itu musyrik-selama tidak bermaksud jahat kepada kaum Muslim-mereka pun adalah manusia yang berhak memperoleh perlindungan, bukan saja menyangkut nyawa dan harta benda mereka, tetapi juga menyangkut kepercayaan dan keyakinan mereka. Ayat ini menunjukkan betapa Islam memberi kebebasan berpikir serta membuka peluang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk menemukan kebenaran dan dalam saat yang sama memberi perlindungan kepada mereka yang berbeda keyakinan, selama mereka tidak mengganggu kebebasan berpikir dan beragama pihak lain.
Sekali lagi, al-Qur'an sangat mendambakan terciptanya kedamaian dan kesejahteraan. Hakikat ini terbaca juga dalam QS. Quraisy [106]: 3-4. Di sana Allah menyebut dua anugerah besar yang dinikmati oleh masyarakat Mekkah pada masa Nabi Muhammad saw, yaitu nikmat keamanan dan nikmat kecukupan pangan/kesejahteraan. Allah berfirman:
"Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'hah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan."
Anda baca bahwa dengan terwujudnya rasa aman dari gangguan dan dengan terpenuhinya kebutuhan pangan maka menjadi sangat wajar bagi siapa pun yang menikmati kedua hal tersebut untuk beribadah/mengabdi kepada Allah. Nah, jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sebagai salah satu tujuan penciptaan manusia dan jin (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56)", maka itu berarti menjadi kewajiban semua manusia untuk berpartisipasi dalam terwujudnya rasa aman itu.
Ayat di atas ini juga mengisyaratkan bahwa rasa aman mendahului kewajiban beribadah. Hal tersebut wajar bukan saja karena sekian banyak ibadah yang diwajibkan Allah yang gugur akibat tidak terpenuhinya rasa aman. Ambillah sebagai contoh, ibadah haji yang salah satu syaratnya adalah keamanan dalam perjalanan. Demikian juga shalat-walau tidak gugur—tetapi bila rasa aman tidak terpenuhi maka bentuknya pelaksanaannya berubah atau apa yang dikenal dalam bahasan hukum dengan shalat al-khauf (shalat pada waktu takut).

No comments:

Post a Comment