Wednesday, March 27, 2013

Negara Islam, Syariat Islam


Menerapkan hukum Allah adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk mengambil hukum lain sepanjang telah diterangkan oleh Allah dan rasul-nya.persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana hukum seseorang/Negara yang tidak memberlakukan hukum Allah,sementara dalam QS. Al ma’idah[5]: 44, 45 dan 47 Allah menyatakan secara berturut-turut.
      Ketiga ayat di atas memang menimbulkan dua penafsiran ekstrem yang berbeda-jika tidak saling bertentangan-antara satu dan yang lain.mereka yang cenderung radikal memaknai ketiga ayat tersebut sebagai beentuk justifikasi pengafiran orang/kelompok/Negara/muslim yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah.bagi mereka hanya ada dua pilihan: Menjadi muslim dengan memberlakukan semua hukum-hukum Allah, atau menjadi kafir karena telah melanggar semua /sebagian hukum tersebut.
      Di sisi ekstrem yang lain, kelompok sekularis mengatakan bahwa ketiga ayat diatas tidak ada hubungannya dengan kaum muslim, karena ketiga ayat tersebut diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, bukan kepada kelompok Muslim. Pendapat kedua ini banyak di pengaruhi oleh pra-asumsi bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan sistem hukum dan pemerintahan, sebagaimana yang di yakini oleh Ali Abdul Raziq dalam al-Islam wa Ushul al-Hukm. Pendapat Ali Abdul Raziq ini memang menimbulkan banyak penolakan dari para cendekiawan Muslim terkemuka, sebagaimana direkam secara baik oleh Muhammad Imarah dalam bukunya Ma’rakat al-Islam wa Ushul al-Hukm. Di antara cendekiawan Muslim yang cukup keras menolak pendapat Ali Abdul Raziq adalah Muhammad Dhiya’uddin ar-Reis dalam bukunya “al-Islam wa al-Khalifah”. Menurut ar-Reis, penafsiran bahwa ketiga ayat di atas hanya diperuntukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani dan tidak ada sangkut pautnya dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang sama sekali tidak tepat. Sebab, kata “man” (siapa saja/barang siapa) dalam ketiga ayat itu adalah suatu lafal yang bersifat umum. Oleh karenanya, penggalan akhir dari ketiga ayat tersebut menyuguhkan kepada kita redaksi yang bersifat umum, yang tentu mencangkup di dalamnya kaum Muslim. Kecuali itu, menurut ar-Reis, pengkhususan perintah penerapan hukum Allah sebagaimana tertuang dalam ketiga ayat itu hanya kepada umat Yahudi dan Nasrani-dua agama samawi yang relative lebih sedikit memuat aturan-aturan hukum dibandingkan aturan-aturan dalam Islam yang lengkap-merupakan pengkhususan yang out of contexs. Sebab, Islam sebagai agama yang lebih banyak memuat aturan-aturan hukum lebih layak dituntut untuk menerapkan aturan-aturan hukumnya ketimbang umat Yahudi dan Nasrani.
Tentu saja, penolakan yang keras atas interpretasi kelompok sekularis itu muncul dari kelompok radikal yang sayangnya, justru melahirkan suatu sikap ekstrim lain karna begitu mudah mengafirkan mereka yang dianggap tidak menerapkan hukum Allah. Bahkan, kelompok radikal yang sering disebut sebagai Hakimiyatullan yang kerap mengatribusi umat Islam dewasa ini sebagai masyarakat jahiliyah (sebagaimana di tuturkan oleh al-Maududi dan Sayyid Quthb), lebih jauh menganggap sistem demokrasi yang di anut oleh hampir seluruh Negara dunia Islam dewasa ini, sebagai salah satu bentuk penerapan hukum selain hukum Allah, dan karenanya di anggap komunitas-negara kafir. Tentu saja, sikap ekstrim-radikal ini tidak dapat di benarkan, sebagaimana penafsiran kaum sekularis liberalis atas ketiga ayat di atas untuk memisahkan Islam dari sistem hukum juga tidak dapat dibenarkan.
     Oleh karena itu, mari kita melihat ketiga ayat di atas dengan lebih cermat, sehingga kita dapat mendapatkan suatu penfasiran yang tepat dan proporsional pertama-tama sekali, dalam pandangan mayoritas umat Islam, masalah hukum merupakan persoalan furu (fiqih-syariah) dan bukan ushul (akidah/sistem keimanan). Jika perbedaan pendapat dalam masalah furu hanya dapat dikatakan “benar” atau “salah”, maka dalam masalah ushul, seseorang bisa terjerumus dalam kekufuran. Oleh karenanya, mereka yang tidak menjalankan hukum Islam karena melanggar-bukan lahir dari pengingkaran dan penentangan-tidak dapat di anggap telah keluar dari Islam (kafir). Lebih dari itu, sebagaimana perbedaan iman dan Islam yang telah di jelaskan diawal tulisan ini, persoalan hukum lebih merupakan aspek amaliyyah yang bersifat lahir (Islam), bukan termasuk aspek akidah (iman), yang membuat seseorang bisa menjadi kufur bila melanggarnya. Alhasil, mereka yang melanggar hukum-dari keimanan dan keIslaman (kafir), kecuali perbuatan maksiat yang di lakukan adalah suatu perbuatan yang menunjukkan kekufuran (seperti bersujud kepada selain Allah untuk maksud penyembahan dan penuhanan).
Demikianlah, melanggar perintah-perintah Allah dengan melakukan kemaksiatan, tidaklah membuat seseorang menjadi kufur, kecuali kemaksiatan yang di lakukannya di dorong oleh peningkaran dan ketidakpercayaan ataskewajiban-kewajiban agama.Dari titik ini dapat dikatakan bahwa pelanggaran dan pengingkaran adalah dua hal yang bebeda.Jika pelanggaran atas hukum-hukum agama akan membuat seorang Muslimmenjadi pendosa yang fasiq, maka pengingkaran akan kebenaran hukum Allah akan mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Dengan demikian, jika yang terjadi di Negara-negara Muslim adalah pelanggaran atas hukum-hukum Allah dengan tetap meyakini kebenaran ajaran-Nya, maka yang terjadi adalah kezaliman dan kefasiqan, bukan kekufuran.
     Menurut Fahmi Huwaidi, paling tidak ada dua sebab mengapa realitas penerapan suatu hukum yang Alllah turunkan bukanlah suatu bentuk kekufuran. Pertama, nash-nash agama tidak menganggap “pelanggaran” terhadap hukum Allah sebagai bentuk kekufuran. Karenanya, tak aneh ketika banyak khalifah di masa-masa awal Islam –saat beberapa Sahabat Nabi dan Ulama Tabi’in masih hidup– memaksa rakyat untuk membait  putra-putra mahkota mereka, suatu bentuk pelanggaran hukum atas syura yang ditetapkan Allah, namun tak seorang pun saat itu –kecuali Khawarij– yang mengafirkan para khalifah itu. Dan kedua, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menerapkan hukum selain hukum Allah bukanlah persoalan akidah dan keimanan, melainkan pelakunya termasuk dalam golongan pendosa (ashi) dan fasiq, bukan kafir.
     Pernyataan di atas sebenarnya akan semakin jelas bila kita melihat sebab turunya ayat 44,45 dan 47 dari QS. Al- Maidah seperti disebut di atas. Dalam berbagai kitab tafsir dikatakan bahwa ketiga ayat ini diturunkan kepada orang-orang Yahudi yang menolak pemberlakuan hukum rajam yang Allah tetapkan bagi penzina yang telah kawin (muhsan). Mereka berusaha mengganti hukum raja mini dengan hukum cambuk. Penolakan orang-orang Yahudi ini lahir dari keyakinan mereka bahwa hukum rajam yang Allah tetapkan itu tidak lagi sesuai dengan kondisi mereka. Penolakan yang dibarengi pelecehan ini tentu telah merusak akidah dan keimanan mereka akan kesempurnaan hukum yang Allah turunkan. Lebih jauh, orang-orang Yahudi ini kemudian mencari hukum lain yang mereka anggap lebih baik dari hukum Allah, yaitu hukum cambuk. Lengkaplah sudah bila penolakan, penghinaan, dan penyelewengan hukum Allah ini membuat mereka pantas menerima label kufur.
Oleh karena itu, menukil dari Tarjamun al-Qur’an, Ibnu Abbas ra, ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat-ayat di atas sebagai berikut , “Sesungguhnya orang yang menentang (jahada) apa yang Allah turunkan, maka ia telah kafir.tetapi,orang Yang mengakui hukum Allah tetapi tidak menerapkannya,ia adalah orang yang zalim dan fasiq.
     Sementara al-Qurthibi dalam tafsiranya mengatakan,”firman Allah ta’ala “barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang orang yang kafir,orang orang yang zalim,otrang orang yang fasiq”.ayat-ayat ini dituruknkan kepada orang orang kafir sebagaimana diriwayatkan oleh imam muslim… adapun seorang muslim yang melakukan pelanggaran dosa besar,ia bukanlah kafir.dikatakan juga bahwa ayat tersebut ada yang tidak disebut tersurat,yakni bahwa mereka yagn tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena mengingkari al-Qu’ran dan menentang Rasul-Nya,maka ia adalah seorang kafir… menurut ibnu ma’sud dan al-hasan, ayat tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang tidak menerapkan hukum yang Allah turunkan karena menentang Allah dan hukum-hukumnya, baik kaum muslim, yahudi, nasrani atau musyrik.adapun yang melakukan kemaksiatan karena tidak yakin bahwa ia sebenarnya telah melakukan pelanggaran,maka ia termasuk orang muslim yang fasiq yagn perkaranya ada di tangan Allah,yakni diazab atau diampuni sesuai dengan kehendak-Nya.a”
     Penjelasan serupa juga kita dapatkan dalam tafsir ar-razi saat ia menjelaskan makna ayat 44 surah al-Ma’idah: “Ikrimah mengatakan bahwa firman Allah: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir”, hanya berlaku bagi mereka yang hati dan lidahnya mengingkari dan menentang hukum-hukum Allah. Adapun mereka yang hati dan lidahnya mengakui (hukum-hukum Allah), tetapi kemudian ia melanggar apa yang ada dalam hatinya, maka sebenarnya ia adalah orang yang meyakini kebenaran hukum Allah namun meninggalkannya dalam tindakan. Orang seperti ini tidak dapat dikatagorikan sebagai kafir sebagaimana dalam ayat di atas.’’
     Dari beberapa penafsiran di atas, menjadi jelas bahwa titik persoalannya memang berkisar pada ketidaktepatan beberapa kalangan dalam memahami kata kafir dalam ayat 44 QS. Al-Ma’idah. Oleh karenanya, dalam madarij as-salikin, Ibnu al-Qayyim membedakan dua macam kekufuran: Kufur-besar (al-kufr al-akbar) dan kufur-kecil (al-kufr al-ashghar). Kufur besar adalah kekufuran yang menyebabkan seseorang keluar dari agama sehingga kekal di neraka; sementara kufur-kecil menyebabkan pelakunya diancam siksa neraka namun tidak kekal di dalamnya. Kufur-besar membuat pelakunya keluar dari agama, sementara kufur-kecil tidak samapi membuat pelakunya keluar dari agama. Istilah kufur-kecil dapat didapati dari beberapa redaksi hadits Nabi, misalnya, sabda beliau: “Dua hal pada umatku yang meraka menjadi kafir (kecil) karenanya: Merusak nasab dan meratapi mayit (niyahah).” Demikian pula sabda beliau: “ Jangan kembali sepeninggalanku kepada kekufuran, (yaitu) sebagian kalian saling memukul leher sebagian yang lain (berperang/saling membunuh).”
     Menurut ibnu al-Qayyim, contoh lebih dari kufur-kecil yang tidak membuat pelakunya menjadi keluar dari agama adalah firman Allah swt dalam QS. Al-Ma’idah [5] 44. Pendapatnya menyatakan,” Inilah penafsiran Ibnu abbas ra. Mayoritas sahabat atas ayat “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang–orang yang kafir”, di mana Ibnu abbas mengomentari ayat ini,” Sesungguhnya ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari Islam… bukan pula seperti kekufuran kepada Allah dan Hari Akhirat.” Demikian juga komentar Thawus atas ayat di atas,” Itu adalah kekufuran (kecil) yang bukan dan berada dibawah kekufuran (besar)…”
     Setelah memamparkan beberapa penafsiran ulama tentang makna kufur, Ibnu al-Qayyim samapi pada kesimpulan,” Yang benar adalah bahwa menerapkan hukum selain yang diturunkan Allah dapat mengantarkan pelakunya kepada dua jenis kekufuran: Kufur-besar dan kufur-kecil, tergantung kondisi pelakunya. Jika ia meyakini kewajiban hukum Allah dalam suatu perkara, tetapi ia melanggar dengan tetap meyakini bahwa pelanggarannya dalah suatu dosa, maka ia telah melakukan kufur-kecil. Tetapi, jika ia meyakini hukum Allah sebagai perkara yang tidak wajib, dan ia merasa bebas (tidak bersalah) saat mengabaikannya, maka ia telah terjerumus ke dalam kufur-besar. Sementara, bila ia melakukan akibat kebodohan dan kesalahan-penafsiran, maka ia termasuk orang yang bersalah… simpulnya adalah bahwa semua bentuk kemaksiatan (pelanggaran-pelanggaran atas hukum Allah) termasuk dalam jenis kufur-kecil, suatu jenis kekufuran yang merupakan lawan dari syukur yang menuntut ketaatan, (bukan lawan dari iman yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama).”
     Apa yang dikemukakan oleh para ulama klasik terkemuka sebagai dipaparkan di atas, juga menjadi pendapat beberapa cendekiawan Muslim kontemporer semisal Yusuf al-Qaradhawi. Dalam beberapa karyanya, al-Qaradhawi –mengutip pendapat Rasyid Ridha– menulis; “ Tepatlah senyalemen Allah dalam ketiga ayat surat al-Ma’idah itu ketika menyifati orang kafir, orang zalim, dan orang fasik, masing-masing sesuai dengan keadaannya. Bila seseorang menolak melaksanakan hukum Allah yang qath’i karena menganggapnya buruk dan lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia, maka ia telah terjerumus dalam kekafiran. Sedangkan orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu karena alasan lain yang mengakibatkan terjadinya pengabaian hak dan keadilan, maka dia adalah zalim; dan yang tidak mengakibatkan pengabaian hak dan keadilan sebagai fasiq saja. Sebab, kata fasiq lebih umum ketimbang lainnya. Setiap orang yang kafir dan zalim adalah fasiq; tidak sebaliknya.;
     Demikian pula khawatir  (kesan) yang diperoleh pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab, saat mengupas ayat 44 surah Al-Mai’dah berpendapat; “(ayat ini) dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap mereka yang menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi ini oleh mayoritas ulama.. adalah bagi yang melecehkan Hukum Allah dan mengingkarinya Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain, demukian pula kefadiqan dan kezaliman non-Muslim. (sebab), kekufuran seorang muslim bias diartikan pengingkaran nikmat… Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa siapa saja-tanpa kecuali-jika melecehkan hukum-hukum Allah atau enggan menerapkannya karena tidak mengakuinya, maka dia adalah kafir, yakni telah keluar dari agama Islam”.

Tuesday, March 26, 2013

Contoh kasus dalam menjalankan Syariat Islam



Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
            Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
            Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
            Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.

Monday, March 25, 2013

HAKEKAT ISLAM KAFFAH


Islam kita yakini sebagai agama penyempurna, yaitu agama yang menuntaskan firman-firman Allah kepada umatnya. Karena itu, seharusnya dengan disampaikannya Islam oleh Nabi Muhammad saw, maka tidak ada lagi rujukan lain bagi umat manusia, khususnya kita yang mengaku diri sebagai Muslim, kecuali al-Qur'an dan Hadits. Jika saja semua orang mau mengacu kepada al-Qur'an dan Hadits itu, maka Allah menjanjikan bahwa dunia ini akan seperti surga, damai, tenang, sejahtera, tidak ada kejahatan, tidak ada polusi, tidak terjadi pemanasan bumi ata.u kekurangan bahan pangan dan mahalnya minyak bumi, tidak ada perang dan terorisme dan sebagainya.
Sayangnya, faktanya umat manusia tidak seperti yang kita harapkan. Al-Qur'an sendiri sudah mengingatkan bahwa umat manusia diciptakan berbeda-beda dan bergolong-golongan agar saling mengenal, seperti dalam firman-Nya: "Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. al-Hujurat [49]: 13), tetapi umat manusia justru terus-menerus saling berperang, saling berbunuhan, dan saling menzalimi. Beberapa di antaranya, bahkan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an tentang jihad, sebagai alasan untuk memerangi orang-orang yang tak sepaham atau sealiran dengannya. Bukan hanya yang berlainan agama, tetapi juga yang seiman.
Tentu saja Islam bukan dimaksudkan untuk saling menghancurkan, karena Allah sendiri menghendaki sesama Muslim untuk saling bersaudara. Bahkan, dengan seluruh umat manusia dan mahluk hidup lain di muka bumi ini, manusia harus saling memelihara dan menjaga. Masalahnya, setelah Nabi dan para sahabat wafat, maka tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang mendapat petunjuk langsung dari Allah swt. atau Rasulullah sendiri. Semua orang mendapatkan pengetahuan, penghayatan, bahkan sampai keimanannya dari mendengar, atau belajar dari orang lain, atau membaca karangan-karangan manusia lain. Pendek kata, kita harus mengacu kepada narasumber lain di luar Allah dan Rasulullah sendiri.
Narasumber itu bisa saja ulama kaliber dunia, atau ustadz lokal, tetapi semuanya hanyalah manusia biasa, dan setiap manusia biasa tidak bisa melepaskan diri dari sifat subjektifnya. Maka, tidak mengherankan jika al-Qur'an yang hanya satu itu, bisa memunyai ratusan, bahkan mungkin ribuan tafsir. Tidak aneh juga jika hadits-hadits itu berjenjang dari yang paling shahih sampai yang paling tidak shahih. Sementara hadits shahih yang diajarkan oleh seorang kiai atau ustadz, justru dianggap tidak shahih oleh kiai atau ustadz yang lain. Itulah sebabnya Islam terbagi-bagi dalam begitu banyak aliran: Syiah, Sunni, dan sete usnya, dan antaraliran itu bisa saling berperang, seperti yang terjad antara kaum Syiah dan Sunni di Irak pada tahun 2000-an ini.
Bagaimana cara mengatasi hal vang tidak diharapkan ini? Wallahu a'latn bis-shawwdb. Tetapi, ada satu hal yang kiranya masih bisa kita lakukan, untuk setidaknya mengurangi atau mencegah kemungkinan penyalahgunaan konsep 'jihad' untuk tujuan-tujuan menggunakan kekerasan terhadap golongan lain. Terlepas dari keyakinan masing-masing, tetapi setiap perbuatan yang merugikan orang lain (membunuh, membom, merampok, dan lain-lain), walaupun dilakukan atas nama jihad, tetap tidak dibenarkan, karena hal itu sudah merupakan tindakan kriminal yang terkena sanksi hukum negara. Tulisan ini ditujukan untuk meluruskan apa yang dimaksud dengan jihad itu sebenarnya. Intinya adalah bagaimana menafsirkan jihad itu dengan tepat, sehingga hasilnya bermanfaat untuk membesarkan Islam dan menyejahterakan umat. bukan justru malah saling menghancurkan antarumat.
Kami berterima kasih, karena dari penelitian-penelitian di lembaga kami, terbukti bahwa faktor penyebab utama dari timbulnya berbagai perilaku kekerasan (termasuk terorisme) yang dilakukan oleh beberapa saudara kita yang seiman, adalah menafsirkan konsep jihad seperti yang diajarkan oleh guru-guru, ustadz-ustadz, atau tokoh-tokoh panutan mereka, sedemikian rupa, sehingga mereka beranggapan bahwa jalan kekerasan itulah jalan satu-satunya yang benar. Karena itu, memang sangat diperlukan tafsir-tafsir yang lebih rasional dan lebih mendekati apa yang dimaksudkan oleh Islam yang sesungguhnya, untuk mencegah terulangnya kembali aksi-aksi kekerasan dengan nengatasnamakan jihad di kemudian hari.






Wednesday, March 20, 2013

Makna Jihad Bagi Pejuang Islam


Jihad merupakan salah satu istilah yang sering disalahpahami artinya. Sebagian orang memahami arti jihad dengan pemahaman yang sempit. Jika di sebut kata jihad, maka yang terbayang di dalam benak adalah peperangan, senjata, darah, dan kematian. Kewajiban berjihad dimaknai sebagai kewajiban memerangi orang-orang kafir dan munafik hingga mereka masuk Islam. Pemahaman itu tidak benar, karena jihad tidak hanya berarti berperang secara fisik dengan mengangkat senjata, tetapi memunyai arti yang luas. Perang hanyalah salah satu bentuk jihad yang di lakukan dalam kondisi tertentu.

     Secara lughawi, perkataan jihad (Arab: Jihad) berasal dari kata “jahd”, yang mengandung arti kesulitan atau kesukaran. Jihad adalah aktivitas yang mengandung kesulitan dan kesukaran. Ada pula yang berpendapat bahwa perkataan jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti kemampuan. Jihad artinya mengerahkan segala kemampuan untuk melakukan perbuatan demi mencapai tujuan tertentu. Dari akar kata yang sama, lahir kata ijtihad dan mujahadah. Ijtihad merupakan istilah dalam ilmu fiqih yang berarti mencurahkan pikiran untuk menetapkan hukum agama tentang sesuatu kasus yang tidak terdapat hukumnya secara jelas di dalam al-Qur’an atau as-Sunnah. Sedangkan mujahadah merupakan istilah dalam ilmu akhlak/tasawuf yang berarti perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jihad, ijtihad, dan mujahada, walaupun mempunyai konteks yang berbeda di dalam penggunaannya, tetapi semuanya mengandung arti mencurahkan kemampuan dan melakukan perbuatan yang mengandung kesulitan untuk mencapai tujuan tertentu.

     Syekh Raghib Al-Isfahani membedakan tiga macam jihad, yaitu: Pertama, jihad menghadapi musuh yang nyata (mujahadah al-‘aduww azr-zhahir). Kedua, jihad menghadapi setan (mujahadah asy-syaithan). Ketiga, jihad memerangi hawa nafsu (mujahadah an-nafs).

Jihad Menghadapi Musuh yang Nyata
Yang di maksud yang nyata ialah orang-orang yang memusuhi Islam, yaitu orang-orang kafir dan munafik. Perintah jihad kepada orang-orang kafir dan munafik di sebutkan di dalam al-Qur’an:
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Dalam surat an-Nisa’ [4]: 95-96, Allah menjelaskan keutamaan orang yang berjihad d jalan Allah:

“Tidaklah sama mukmin yang duduk, selain yang mempunyai uzur, dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan diri mereka atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk, dengan pahala yang besar; (yaitu) beberapa derajat darinya, dan ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

     Pada ayat lain, Allah berfirman dengan menggunakan redaksi “qatilu” (artinya: “perangilah”), sebagaimana tersebut di dalam surah At-Taubah [9]: 123:
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketehuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.

Perang dengan senjata adalah salah satu bentuk jihad yang di perintahkan dalam agama yang diperintahkan dalam kondisi tertentu. Menengok kepada sejarah, umat Islam menetap di Mekkah lebih dari sepuluh tahun lamanya dalam keadaan tertindas dan mengalami siksaan Karena memeluk agama Islam. Mereka terancam jiwanya dan harta bendanya. Kemudian mereka pindah ke Mekkah dan kejahatan orang musyrik terus berlangsung. Setiap kali umat Islam bermaksud  membalas kejahatan kaum musyrik, Rasullullah saw. Selalu mencegahnya  dan mengajak kepada kesabaran. Ketika kejahatan mereka sudah sampai puncaknya, maka turunlah ayat yang membolehkan berperang. Allah berfirman:
Telah diizinkan (berperang/ mengangkat senjata) bagi orang–orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka. (yaitu orang – orang yang telah diusir dari kampong halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka  berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat , menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”(QS.Al-Hajj [22]:39-41)

Ayat tersebut di atas mengandung arti izin kepada kaum muslim untuk berperang, dengan menyebutkan alasan bahwa mereka dianiaya, diusir dari negrinya, tanpa alasan yang benar. Dengan turunnya ayat tersebut, umat Islam diizinkan memerangi orang kafir. Peperangan pertama, yaitu perang badar,terjadi di Madinah pada 17 Ramadhan tahun 2 Hijrah.

Dalam konteks tersebut, perlu dikemukakan bahwa tujuan berperang bukanlah untuk memaksa orang untuk masuk Islam. Tujuan berperang adalah untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kehidupan yang baik,sehingga tidak ada penindasan dalam kehidupan sesama manusia. Termasuk di dalamnya mewujudkan kemerdekaan bagi kaum Muslimin sehingga dapat menjalankan kepatuhan kepada Allah. Tidak ada satu ayat pun di dalam Al-qur’an yang menjelaskan bahwa berperang diperintahkan untuk memaksa orang memeluk Islam. “Perang tidak ada hubungannya dengan pemaksaan agama”, demikian M. Quraish Shihab di dalam tafsirnya.

Kata jihad di dalam Al-qur’an tidak selalu berarti perang. Dalam banyak tempat, kata jihad dipergunakan dalam arti perjuangan membela agama pada umumnya, tremasuk pula perjuangan mengamalkan ajaran agama dalam bentuk ketaatan dan takwa kepada Allah. Allah berfirman dalam (QS. Al-Ma’idah [5] : 35)

Sayyid quthub menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan wasilah ialah sarana menuju kepada sesuatu. Hakikat wasilah kepada Allah ialah menempuh kepatuhan kepada Allah dengan ilmu dan ibadah, memelihara ajaran agama yang mulia. Ilmu dan amal adalah sarana menuju takwa kepada Allah. Jadi, yang dimaksud dengan jihad pada ayat tersebut adalah muthlaqul jihad, yang meliputi jihad an-nafs dan jihad al-kuffar, karena dikaitkan dengan takwa kepada Allah, dan tidak ada keterangan apapun yang menyatakan kekhususan (takhshish) mengenai hal itu. Walaupun demikian boleh juga dipahami dalam arti qital, sebagai salah satu arti yang terlkandung di dalamnya, karena ayat ini di letakkan di dalam kelompok ayat yang mengandung perintah jihad dalam arti qital. Demikian Sayid Qhutub di dalam tafsirnya. [1]

Perlu dikemukakan bawa ayat-ayat yang mengandung perintah berjihad telah diturunkan di Mekah sebelum diturunkannya ayat yang memberikan izin kepada kaum Muslim memerangi orang kafir. Setidaknya terdapat 4 ayat al-Qur’an yang diturunkan pada periode Mekkah berisi perintah berjihad atau menggunakan kata “jihad” dalam redaksinya. Ayat – ayat tersebut adalah sebagai berikut:
     1)      Surah Al-Furqon [25] : 52:
Maka janganlah kamu menaati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka -dengannya-dengan jihad yang besar.”
     2)      Surah an-Nahl [16]: 110:
“Kemudian sesungguhnya Tuhanmu bagi orang-orang yang berhijrah sesudah mereka dianiaya, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Penagmpun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nahl [16]: 110)

            “Kata “jahadu” (berjihad) yang dimaksud dalam ayat ini bukan dalam arti mengangkat senjata, karena ayat ini turun di Mekkah sebelum adanya izin berperang.” Makna kata “jahadu” adalah mengerahkan semua tenaga dan pikiran untuk mencegah gangguan kaum musyrikin serta maksud buruk mereka. Makna kata berhijrah dalam ayat ini bukannya hijrah ke Madinah,tetapi hijrah ke Habsyah/Ethiopia yang terjadi peda tahun kelima dari  kenabian yakni sekitar delapan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah”.[2]
     3)      Surah al-Ankabut [29]:6:
Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya dari semesta alam.”
     4)      Surah al-Ankabut [29]:69:
Dan orang–orang yang berjihad pada kami, pasti kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta al-muhsinin (orang-orang yang selalu berbuat kebajikan)”.

            Demikian kata jihad di dalam al-Qur’an tidak selalu berarti berperang dengan senjata. Jihad sering disalahpahami artinya mungkin disebabkan karena ia lazim diucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawan bersenjata. Kesalahpahaman itu disuburkan oleh pemahaman arti kata anfus yang sering kali dibatasi hanya dalam arti “jiwa”, bukan diri manusia dengan segala totalitasnya. Al-Qur’an menggunakan kata nafs dan anfus antara lain dalam arti totalitas manusia, dan dengan demikian kata anfusihim dapat mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dai tempat dan waktu. Dengan demikian, mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban atau bersedia berkorban dengan apa sajayang berkaitan dengan dirinya sendiri”.[3]


[1] Tafsir al-Mizan, jilid V, h.335.
[2] Tafsir al-Mishbah, jilid VII, h. 364.
[3] Tafsir al_MIshbah, jilid II, h.536-537