Thursday, February 28, 2013

Islam Agama yang Moderat dan Toleran

Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini di sebut dalam al-Qur’an sebagai ash-Shirath al-mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub ‘alaihim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan. Kalau al-magdhubi ‘alaihim di pahami sebagai kelompok yahudi, seperti dalam sebuah penjelasan Rasul, itu karena mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para nabi dan berlebihan dalam mengharamkan segala sesuatu. Demikian jika adh-dhallin di pahami sebagai kelompok nasrani, itu karena mereka berlebihan sampai mempertuhankan nabi. Umat Islam berada di antara sikap berlebihan itu, sehingga dalam al-Qur’an di beri sifat sebagai ummatan wasathan. Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (pebuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 143)

     Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; ‘kiri’ dan ‘kanan’, berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat demawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan ‘tengah’. Dalam sebuah Hadits nabi, ummatan wasathan di tafsirkan dengan ummatan ‘udulan, jamak dari ‘adl (umat yang adil dan proporsional). Karena mereka umat yang adil, di tempat lain dalam al-Qur’an mereka di sebut sebagai khairu ummah, umat terbaik (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110).  Keterkaitan ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik, sebaliknya sikap berlebihan (al-ghuluww) terutama dalam keberagamaan menjadi tercela. Al-Qur’an mengecam keras sikap ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani yang terlalu berlebihan dalam beragama. Allah berfirman:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-masih,  ‘Isa putra maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-nya yang di sampaikan-nya kepada maryam, dan (dengan tiupan) roh darinya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Rasulnya dan janganlah kamu mengatakan: “(tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaannya. Cukuplah Allah sebagai pemelihara”, (Qs. Al-Nisa [4]: 171)

     Sikap berlebihan ini pula yang menjadikan tatanan kehidupan umat terdahulu rusak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. Bersabda:
“jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian. 

     Melihat sebab wurud (lahirnya) Hadits ini, ada satu pesan yang ingin di sampaikan oleh Rasulullah, yaitu sikap berlebihan dalam beragama terkadang di mulai dari yang terkecil, kemudian merembet ke hal-hal lain yang membuat semakin besar. Hadits ini di latarbelakangi oleh peristiwa saat nabi melakukan Haji Wada. Ketika di Muzdalifah beliau meminta kepada Ibnu Abbas agar di ambilkan kerikil untuk melontar ke mina. Lalu Ibnu Abbas memberikan beberapa batu kecil yang kemudian di komentari dengan pernyataan di atas. Komentar tersebut mengingatkan agar jangan sampai ada yang berfikiran, melontar dengan menggunakan batu-batu besar lebih utama dari pada batu-batu kecil, mengingat ramyul jamarat (melontar jumrah) merupakan simbol perlawanan terhadap setan. Niatnya memang baik, di dorong oleh semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi itu belum cukup. Kualitas sebuah amal dalam Islam sangat di tentukan oleh niat yang ikhlas dan di dasari ilmu pengetahuan. Peringatan agar tidak berlebihan ini, menurut Ibnu Taimiyah, berlaku dalam hal apa saja; keyakinan maupun ibadah atau perbuatan.

     Kenyataan yang kita hadapi saat ini, semangat keberagamaan yang tinggi telah mendorong sebagian kalangan,terutama kalangan muda, mengambil sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang mendukung perlawanan terhadap hegemoni Negara tertentu. Sikap ini menurut Yusuf al-Qardhawi, biasanya diikuti dengan sikap: a) fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; b) pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dank eras; c) su’u zhann (negative thinking) terhadap orang lain karna menganggap dirinya yang paling benar; d) menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal darahnya.

     Sikap ini bukan saja telah menjauhkan mereka dari sesama muslim, apalagi non-Muslim, tetapi juga menjauhkan mereka dari Islam yang ajarannya sangat modert dan toleran, terutama terhadap mereka yang berbeda, bak keyakinan maupun pandangan keagamaan. Catatan hitam aksi kekerasan yang di lancarkan beberapa kelompok Islam garis keras di Mesir dari tahun 1976 sampai 1996 menunjukkan sasaran aksi tersebut tidak hanya kepada non-muslim seperti para turis,tetapi juga sesame muslim.Motif aksi terhadap non-muslim,seperti tercantum dalam beberapa dokumen jama’at al-jihad seperti sabilul huda wa al-rasyad dan al-kalimat al-mamnu’ah,adalah karena meraka orang kafir yang memasuki sebuah Negara isalam tanpa ada perjanjian sehingga wajib diperangi. Visa yang mereka peroleh sebagai jaminan keamanan memasuki sebuah Negara dianggap tidak sah karena dikeluarkan oleh pemerintah yang kafir karena tidak menerapkan syariat Islam.

     Motif tersebut memang bukan satu satunya. Banyak faktor yang melatarbelakangi aksi-aksi tersebut seperti politik, social, budaya dan lain sebagainya, tetapi faktor-faktor tersebut bukan tempatnya diurai disini. Bukan berarti tidak penting,tetapi yang terucap dan terungkap melalui berbagai pernyataan atau penyidikan adalah motif keagamaan yang diterjemahkan dalam pemahamaan teks-teks keagamaan yang sempit. Maka,menjadi penting untuk menumbuhkan kembali sikap moderasi Islam,terutama dalam hubungannya dengan non-muslim maupun dalam menyikapi berbagai realitas kehidupan. WAllahu A’lam.

Wednesday, February 20, 2013

Syariat Islam dan Prakteknya


Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
 
Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
             
             Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).

             Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.