Sunday, August 5, 2012

Jihad dalam A-Quran dan Sunnah

Banyak pakar mensinyalir, salah satu penyebab ketertinggalan umat Islam saat ini adalah karena meninggalkan dan menjauh dari ajaran al-Qur’an dan hadits. Meninggalkan dimaksud berupa ketidaktahuan yang berakibat pada kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. QS. Al-Baqarah [2]: 78 menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai “ummiyyun” (buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik. Kalaupun mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah) seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna, kolumnis Mesir terkemuka, menyebutkan dengan istilah ummiyyah diniyyah (buta aksara agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena propaganda musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, perilaku, dan pemikiran sebagian kaum Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.
            Tak dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, Al-Qur’an dan Hadist merupakan dua sumber ajaran yang mengatur banyak hal dan harus dipedomani dalam hidup. Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-Nahl [16]: 44). Al-Qur’an tidak hanya berisikan persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup berbagai persoalan etika, moral, hukum, dan system kehidupan lainnya. Sedemikian lengkapnya ajaran al-Qur’an, sayyiduna Abu Bakar ra. Berujar, “Seandainya tambat untaku hilang, pasti akan aku temukan dalam al-Qur’an.” Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat universal untuk semua umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian banyak isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, bahkan juga hadist, yang sejalan dengan penemuan ilmiah para ahli.
            Meski menyatakan dirinya telah “menjalankan segala sesuatu”, namun tidak berarti al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas (6236 ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta kandungannya yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran. Otoritas tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam bentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut Hadits atau Sunnah. Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al-Qur’an dan Hadits tidak dapat dipisahkan, karena jika al-Qur’an dipandang sebagai sebuah konstitusi (dustur) yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk mengarahkan kehidupan manusia, maka Hadits merupakan rincian penjelasannya. Al-Qur’an sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci, Rasulullah diberi kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An-Na-hl [16]: 44). Penjelasan itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut Rasulullah senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An-Najm [53]: 3).
            Dengan kata lain, Hadits dan Sunnah adalah bentuk lain dari al-Qur’an yang wujud dan hidup. Jika Anda ingin mengetahui tuntunan akhlak al-Qur’an, maka perhatikanlah kehidupan Rasul, demikian makna yang tersirat dari sebuah Hadits riwayat Aisyah ra. Tanpa Hadits atau Sunnah, banyak hal menyangkut ibadah dan muamalah dalam Islam yang tidak pernah diketahui. Dalam Al-Qur’an ditentukan perintah shalat, tetapi tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai bilangan rakaatnya, tata cara, dan waktu  melaksanakannya, serta jenis shalat yang diwajibkan dan dianjurkan. Penjelasan semua itu ada dalam hadits. Ukuran, jenis, dan wktu pelaksanaan zakat juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Demikian pula tata cara pelaksanaan puasa, haji, transaksi jual beli, dan lainnya yang hanya diterangkan secara global oleh al-Qur’an. Dari sini banyak ulama memahami keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, sehingga mengamalkan  Hadits berarti juga mengamalkan al-Qur’an. Firman Allah: “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan, barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa’ [4]: 80).
Suatu ketika seorang perempuan dari Bani Asad mendatangi sahabat Rasul, Abdullah bin Mas’ud, dan memprotes sikap Ibnu Mas’ud yang mengecam keras perempuan yang mentato (al-wasyimat) dan yang minta ditato (al-mustawsyimat). Perempuan itu berdalih, larangan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an . Ibnu Mas’ud menjawab. “Larangan tersebut dapat Anda temukan dalam sebuah ayat, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr [59]:  7). Ayat ini juga dibacakan oleh Abdurrahman bin Yazid, seorang ulama generasi awal, ketika ada seorang yang memperotes larangan mengenakan baju saat berihram dengan alasan tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, ayat tersebut menegaskan kedudukan Hadits sebagai referensi hukum saat tidak ditemukan rincian penjelasan dalam al-Qur’an. Dari sini, tidaklah tepat pandangan sebagai kalangan yang merasa cukup dengan hanya berpedoman pada al-Qur’an. 
Contoh kasus dalam menjalankan Syariat Islam
Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
            Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
            Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
            Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.

No comments:

Post a Comment